Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Sabtu, 04 Agustus 2012

membedah buku Prof. Dr. Quraish Shihab yang berjudul “Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer”


Saya mendapat email dari penulisnya, sayang kalau tidak di-blog-kan, untuk kemaslahatan dan pengetahuan umat.

Dr.Quraish Shihab tetap berpendapat jilbab adalah masalah khilafiah, pendapat ganjil menurut pandangan ulama Salaf. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-163
Oleh: Adian Husaini
Hari Kamis, (21/9/2006), saya diundang untuk membedah buku Prof. Dr. Quraish Shihab yang berjudul “Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer”. Tempatnya di Pusat Studi Al-Quran, Ciputat, lembaga yang dipimpin oleh Quraish Shihab sendiri. Hadir sebagai pembicara adalah Quraish Shihab, Dr. Eli MalikiDr. Jalaluddin Rakhmat, dan saya sendiri.
Acara ini mendapat sambutan yang cukup hangat. Ruangan yang tersedia tidak mampu menampung ratusan hadirin. Banyak peserta harus berdiri, karena kehabisan tempat duduk. Bertindak sebagai moderator adalah Dr. Mukhlis Hanafi, doktor tafsir lulusan Universitas al-Azhar Kairo, yang baru beberapa bulan kembali ke Indonesia. Ketika masih di Kairo, Mukhlis Hanafi sendiri sudah menulis satu makalah yang
mengkritik pendapat Quraish Shihab tentang jilbab. Dr. Eli Maliki, doktor bidang fiqih — yang juga lulusan Al-Azhar – mendadak menggantikan Dr. Anwar Ibrahim, anggota Komisi Fatwa MUI yang berhalangan hadir.
Prof. Quraish Shihab – seperti biasanya – dengan tenang mengawali paparannya yang ‘kontroversial’ tentang jilbab. Sudah lama ia mempunyai pendapat bahwa jilbab adalah masalah khilafiah – satu pendapat yang ganjil menurut pandangan para ulama Islam terkemuka.
Dalam bukunya tersebut, Quraish menyimpulkan, bahwa: “ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi.” Juga, dia katakan: “bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhanniy yakni dugaan.”
Masih menurut Quraish, “Perbedaan para pakar hukum itu adalah perbedaan antara pendapat-pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta pertimbangan-pertimbangan nalar mereka, dan bukannya hukum Allah yang jelas, pasti dan tegas.
Di sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas aurat wanita merupakan salah satu masalah khilafiyah, yang tidak harus menimbulkan tuduh-menuduh apalagi kafir mengkafirkan. (hal. 165-167). Dalam bukunya yang lain, “Wawasan Al-Quran”, (cetakan ke-11, tahun 2000), hal. 179), Quraish juga sudah menulis: “Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda
pendapat.”
Pandangan Quraish Shihab tersebut mendapat kritik keras dari Dr. Eli Maliki. Membahas QS 24:31 dan 33:59, Eli Maliki menjelaskan, bahwa Al-Quran sendiri sudah secara tegas menyebutkan batas aurat wanita, yaitu seluruh tubuh, kecuali yang biasa tampak, yakni muka dan telapak tangan. Para ulama tidak berbeda pendapat tentang masalah ini. Yang berbeda adalah pada masalah: apakah wajah dan telapak tangan wajib ditutup? Sebagian mengatakan wajib menutup wajah, dan sebagian lain menyatakan, wajah boleh dibuka.
Saya sendiri berkeberatan dengan kesimpulan Quraish Shihab bahwa jilbab adalah masalah khilafiah. Saya katakan, yang menjadi masalah khilafiah adalah masalah muka dan telapak tangan, telapak kaki dan sebagian tangan sampai pergelangan, jika ada hajat yang mendesak.
Kesimpulan Quraish Shihab – bahwa jilbab adalah masalah khilafiah — seyogyanya diklarifikasi, bahwa yang menjadi masalah khilafiyah diantara para ulama tidak jauh-jauh dari masalah “sebagian tangan, wajah, dan sebagian kaki”; tidak ada perbedaan diantara para ulama tentang wajibnya menutup dada, perut, unggung, paha, dan pantat wanita, misalnya.
Kesimpulan ini perlu dipertegas, agar tidak ada salah persepsi diantara pembaca, bahwa ‘batas aurat wanita’ memang begitu fleksibel, tergantung situasi dan kondisi.
Menurut Yusuf Qaradhawi, di kalangan ulama sudah ada kesepakatan tentang masalah ‘aurat wanita yang boleh ditampakkan’. Ketika membahas makna “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya” (QS 24:31), menurut Qaradhawi, para ulama sudah sepakat bahwa yang dimaksudkan itu adalah “muka” dan “telapak tangan”.
Imam Nawawi dalam al-Majmu’, menyatakan, bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Diantara ulama mazhab Syafii ada yang berpendapat, telapak kaki bukan aurat. Imam Ahmad menyatakan, aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajahnya saja.
Diantara ulama mazhab Maliki ada yang berpendapat, bahwa wanita cantik wajib menutup wajahnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab. Qaradhawi menyatakan — bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan – adalah pendapat Jamaah sahabat dan tabi’in sebagaimana yang tampak jelas pada penafsiran mereka terhadap ayat: “apa yang biasa tampak daripadanya.” (Dikutip dari buku Fatwa-Fatwa Kontemporer (Terj. Oleh Drs. As’ad Yasin), karya Dr. Yusuf Qaradhawi, (Jakarta: GIP, 1995), hal. 431-436).
Pendapat semacam ini bukan hanya ada di kalangan sunni. Di kalangan ulama Syiah juga ada kesimpulan, bahwa ‘’apa yang biasa tampak daripadanya’’ ialah ‘’wajah dan telapak tangan’’ dan perhiasan yang ada di bagian wajah dan telapak tangan. Murtadha Muthahhari menyimpulkan, “… dari sini cukup jelas bahwa menutup wajah dan dua telapak tangan tidaklah wajib bagi wanita, bahkan tidak ada larangan untuk menampakkan perhiasan yang terdapat pada wajah dan dua telapak tangan yang memang sudah biasa dikenal, seperti celak dan kutek yang tidak pernah lepas dari wanita.” (Lihat, Murtadha Muthahhari, Wanita dan Hijab (Terj. Oleh Nashib Musthafa), (Jakarta: Lentera Basritama, 2002).
Bahkan, dalam buku Wawasan Al-Quran, Quraish Shihab sendiri sudah mengungkapkan, bahwa para ulama besar, seperti Said bin Jubair, Atha, dan al-Auza’iy berpendapat bahwa yang boleh dilihat hanya wajah wanita, kedua telapak tangan, dan busana yang dipakainya. (hal. 175-176).
Membaca kesimpulan buku Quraish Shihab tersebut, dapat menimbulkan pengertian, bahwa konsep “aurat wanita” dalam Islam bersifat “kondisional”, “lokal” dan temporal”. Kesimpulan ini “cukup riskan” karena bisa membuka pintu bagi “penafsiran baru” terhadap hukum-hukum Islam lainnya, sesuai dengan asas lokalitas, seperti yang sekarang banyak dilakukan sejumlah orang dalam menghalalkan perkawinan antara muslimah dengan laki-laki non-Muslim, dengan alasan, QS 60:10 hanya berlaku untuk kondisi Arab waktu itu, karena rumah tangga Arab didominasi oleh laki-laki.
Sedangkan sekarang, karena wanita sudah setara dengan laki-laki dalam rumah tangga – sesuai dengan prinsip gender equality – maka hukum itu sudah tidak relevan lagi. Bahkan, berdasarkan penelitian, lebih baik ika istrinya yang muslimah, dibandingkan jika suaminya yang muslim tetapi istrinya non-Muslim. Sebab, sekitar 70 persen anak ternyata ikut agama ibunya.
Dari pendapat para ulama yang otoritatif, bisa disimpulkan, bahwa ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang aurat dan pakaian wanita adalah bersifat universal, berlaku untuk semua wanita, sebagaimana ketika ayat-ayat al-Quran dan hadits Nabi yang berbicara tentang salat, jual beli, pernikahan, haid, dan sebagainya. Ayat-ayat itu tidak bicara hanya untuk orang Arab. Makanya yang diseru dalam QS 24:31 adalah “mukminat”. Itu bisa dipahami, sebab tubuh manusia juga bersifat universal. Tidak ada bedanya antara tubuh wanita Arab, wanita Jawa, wanita Amerika, wanita Cina, wanita Papua, dan sebagainya. Bentuknya juga sama.
Karena itu, pakaian dan aurat wanita juga bersifat universal. Sebuah koran nasional pernah memberitakan, sebuah sekolah menengah di AS melarang wanitanya mengenakan pakaian yang memperlihatkan belahan dadanya, karena dapat mengganggu konsentrasi para pelajar laki-laki, yang lebih suka melihat belahan dada wanita ketimbang pelajaran di kelas.
Hingga kini, di Inggris misalnya, tidak boleh melakukan aksi demonstrasi di jalan raya dengan bertelanjang bulat. Karena sifatnya yang universal, maka tidak bisa dibenarkan – di daerah mana pun – wanita betelanjang dada – dengan alasan sudah menjadi “kebiasaan” sukunya. Pakaian koteka tetap salah, dan mereka yang berkoteka diupayakan secara bertahap supaya menutup auratnya.
Jika disepakati bahwa konsep teks al-Quran adalah bersifat “universal” dan “final” maka hukum-hukum yang dikandungnya juga bersifat “final” dan “universal” – tentu dengan memperhatikan faktor ‘illah.
Sebagai taushiyah, saya sampaikan kepada Prof. Quraish Shihab, bahwa melontarkan pendapat seperti itu tentang jilbab, bukanlah tindakan yang bijak. Di tengah arus budaya pornografi dan pornoaksi dan melanda masyarakat, dan munculnya arus budaya jilbab di kalangan wanita muslimah, penerbitan buku Jilbab karya Quraish Shihab ini, menurut saya, bukanlah tindakan yang bijaksana. Apalagi, diterbitkan oleh sebuah lembaga yang terhormat seperti Pusat Studi Al-Quran.
Ditambah lagi, meskipun ini hanya sebuah pendapat, tetapi pendapat ini bukan keluar dari seorang Inul Daratista atau seorang Asmuni, melainkan keluar dari seorang mufassir Al-Quran yang paling terkenal saat ini di Indonesia.
Pendapat Prof. Dr. Quraish Shihab tentang jilbab dan fakta seorang putrinya yang tidak mengenakan jilbab dijadikan legitimasi oleh satu Majalah untuk melegitimasi tentang tidak perlunya wanita mengenakan jilbab. Majalah ini pada 22 Maret 2005, menulis judul cover: “TERHORMAT MESKI TANPA JILBAB.”
Dr. Eli Maliki juga mengkritik sikap Prof. Quraish Shihab yang tidak mentarjih satu pendapat di antara para ulama, dan menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat luas untuk memilih pendapat-pendapat yang bermacam-macam. Padahal, kata Dr. Eli, tugas ulama adalah memimbing masyarakat, dengan menunjukkan mana pendapat yang lebih kuat, dibandingkan dengan yang lain. Seorang mahasiswi yang hadir mengaku bingung membaca buku Quraish dan takut membawa buku itu ke tempat asalnya, karena buku itu ia nilai bisa membingungkan.
Menghadapi semua kritik itu, Quraish Shihab tidak berubah dengan pendapatnya. Ia tetap menyatakan, bahwa jilbab adalah masalah khilafiah. Padahal, dalam bukunya, Quraish hanya merujuk kepada pemikiran seorang pemikir liberal Mesir yaitu Muhammad Asymawi.
Quraish bersikap kritis terhadap Muhammad Syahrur, tetapi tidak kritis terhadap Asymawi. Quraish tetap bertahan dengan pendapatnya, bahwa mengenakan jilbab yang menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan adalah ‘sebuah anjuran’, bukan kewajiban.
Eli Maliki juga mengkritik pendapat Quraish ini, dan menyatakan, bahwa mengenakan jilbab adalah sebuah kewajiban, yang jelas-jelas dinyatakan dalam Al-Quran. Quraish Shihab, meskipun bertahan dengan pendapatnya, bahwa jilbab adalah sebuah anjuran, namun dia mengaku telah mengajurkan keluarganya untuk memakai jilbab.
Dan ia berharap, para muslimah yang berjilbab, tidak lantas melepas jilbabnya, karena membaca pendapatnya. Quraish juga menekankan, bahwa ‘daerah-daerah rawan wanita’ tetap wajib untuk ditutup.
Menurut saya, karena begitu jelasnya perintah Al-Quran, dan padunya pendapat para sahabat Nabi, para tabiin, tabi’ut tabi’in, dan para ulama sesudahnya, tentang kewajiban mengenakan jilbab, lebih aman jika kita mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa jilbab adalah kewajiban yang jelas. Jika ada yang belum mampu mengenakan jilbab – karena berbagai alasan – sebaiknya tidak mengubah hukum jilbab. Lebih baik mengakui bahwa ada kekurangan dalam menjalankan perintah Allah SWT.
Walhasil, diskusi itu memang belum tuntas. Quraish Shihab tetap dengan pendapatnya semula. Kita pun sudah menyampaikan nasehat dan pendapat-pendapat untuk Quraish Shihab secara langsung. Kewajiban kita sudah selesai. Sekarang kita serahkan kepada Allah SWT.
Semoga masyarakat tidak dibuat bingung dengan pendapat Quraish Shihab tentang jilbab. Lebih aman jika masyarakat mengikuti pendapat para ulama yang sejak zaman Sahabat Nabi hingga kini telah bersepakat tentang kewajiban wanita menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangannya. Bagaimana pun, harus diakui, pendapat Quraish Shihab tentang jilbab, adalah pendapat yang ganjil, di kalangan ulama kaum Muslimin. Meskipun dia dikenal sebagai pakar tafsir, namun dalam hal ini, menurut saya, pendapatnya jelas keliru. Mudah-mudahan di masa mendatang, Quraish Shihab bersedia meralat pendapatnya. Wallahu a’lam.
(Jakarta, 23 September 2006/ www.hidayatullah.com ).
Lihat videonya Quraish Shihab soal jilbab di sini ; http://pemilik2cahaya.blogspot.com/2012/08/jilbabmp4.html

Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif