Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Minggu, 05 Agustus 2012

DUNIA HANYA DIPIMPIN OLEH SATU IMAM


Uraian Imam Al Haramain Tentang Larangan Mengangkat Dua Imam Di Seluruh Dunia
Dalam Kitab Ghiyatsul Umam fit Tiyatsidz Dzulam, Al Imam Abul Ma’ali Al Juwaini, alias Imamul Haromain rahimahullah berkata:

Apabila mudah untuk mengangkat satu imam yang perhatiannya dapat merata ke seluruh batas wilayah Islam, pengaruhnya dapat mencakup seluruh makhluk (rakyat) dengan berbagai stratanya baik yang ada di belahan bumi bagian timur maupun bagian barat, maka tidak dibolehkan -dalam kondisi seperti ini- mengangkat dua imam. Ini merupakan perkara yang disepakati, tidak ditemukan perbedaan pendapat dalam hal ini. Tatkala bai’at telah ditetapkan untuk kholifah Rasulullah saw, yaitu Abu Bakar Ash-shiddiq ra, kemudian khilafah terus berlangsung sampai berakhirnya masa para imam (ahli fiqh -pent) -ra- dapat dipahami secara jelas -tanpa membutuhkan pengutipan sumber informasi mengenai pendapat yang dianut oleh muhajirin dan anshor- bahwasanya bagunan imamah tidak pernah ditangani kecuali oleh satu orang dan tidak dihadapi kecuali oleh satu individu dalam satu masa. Barang siapa tidak memahami kebiasaan orang-orang yang melaksanakan akad dan orang-orang yang diserahi akad (imamah -pent), maka ia adalah orang yang pandir, terbaiat bodoh dan fikirannya mati.


Telah menjadi ketetapan dalam agama yang dipeluk oleh umat ini -tanpa kecuali- bahwa maksud dari adanya imamah adalah menyatukan pandangan yang beragam serta mempertautkan berbagai keinginan yang bermacam-macam. Dan tidaklah tersembunyi bagi orang yang memiliki pengelihatan bahwasanya banyak negara mengalami kekacauan karena terpecahnya para pemimpin, pertentangan berbagai pandangan yang ada, serta tarik-menarik berbagai kepentingan. 


Sementara tertatanya kekuasaan, dilaksanakannya perintah atas dasar ketundukkan, persetujuan terhadap orang yang memiliki gagasan yang kukuh yang tidak sewenang-wenang dan tidak pula egois, bahkan tersinari oleh pandangan orang-orang yang berakal, diterangi oleh fikiran sekelompok orang yang bijak dan berilmu, serta memanfaatkan saripati nalar, maka dengan kekuatan individunya dihasilkanlah faidah yang besar dalam menyelesaikan perselisihan, sementara dengan pencarian cahaya yang dia lakukan tercapailah pemanfaatan gagasan yang dimiliki oleh kaum cerdik-pandai.




Maka -dengan demikian- maksud paling nyata dari keberadaan imamah itu tidak dapat dicapai kecuali dengan adanya kesatuan imam. Argumen ini secara jelas telah mencukupi, tanpa panjang-lebar, tanpa berbelit-belit, bersandar pada hal yang final dan disepakati. Sementara itu orang yang menyeru pada perpecahan, pertentangan, permusuhan, mereka mengaitkan berbagai perkara dengan pandangan para pengamat, menggantungkan kemajuan kepada keberadaan dua imam. Padahal keberlanjutan kekuasaan semata-mata karena merujukkannya para pemimpin daerah kepada satu pendapat yang kokoh dan merujuk kepada satu pandangan yang mengikat dan menyatukan. 


Apabila mereka tidak memiliki tempat berlindung -yang dari sanalah mereka bertolak- serta tidak memiliki tempat tujuan yang menjadi fokus pandangan mereka, maka mereka (pemimpin daerah -pent) akan saling berlomba, saling bersaing, saling mengalahkan, berlompatan untuk meraih dominasi dan superioritas, saling berebut tanpa mempedulikan banyaknya pembantaian masyarakat dan rakyat jelata, maka jadilah ia bencana besar. Ini merupakan sumber terjadinya ujian, medan yang mematikan bagi para makhluk. Para penguasa dan rakyat pun akan lumat di dalamnya.




Telah menjadi ketetapan bahwa pengangkatan dua imam merupakan dalang kerusakan dan penyebab terhentinya petunjuk. Kemudian apabila pengangkatan dua imam itu dipaksakan agar perintah keduanya berlaku di seluruh wilayah, maka hal itu akan mendorong terjadinya pertarungan dan perselisihan. Bahaya yang menjadi dampak pengangkatan keduanya lebih besar dari pada mengabaikan urusan (pemerintahan) dengan diterlantarkan begitu saja.
Adapun apabila seorang imam diangkat di sebagian wilayah, sementara yang lain diangkat di wilayah lain, padahal dimungkinkan untuk mengangkat satu imam yang dapat menjalankan perintah di seluruh wilayah, maka yang demikian itu adalah batil menurut ijma’, 




sebagaimana yang telah ditegaskan sebelumnya. Dan di dalam kasus ini terjadi penyia-nyiaan faidah dari imamah yang diberi kekuasaan untuk menentukan satu pandangan yang dapat menghimpun pandangan-pandangan lain sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dan ini merupakan perkara yang terang, tidak ada kesamaran padanya.


Adapun perkara yang menjadi objek perselisihan berbagai madzhab adalah kondisi di mana pandangan imam tidak mampu meliputi seluruh daerah kekuasaan. Hal yang demikian itu bisa terjadi karena beberapa sebab yang tidak samar, antara lain: meluasnya wilayah dan tersebarnya islam ke berbagai negeri yang saling berjauhan dan di pulau-pulau yang ada di seberang lautan. Kadangkala manusia menempati bagian dunia yang tidak terjangkau oleh perhatian imam, kadangkala wilayah darul kufur menyisip di antara (memisahkan) wilayah Islam. Hal-hal itulah yang menyebabkan perhatian imam tidak menjangkau kaum muslimin yang ada di balik penghalang-penghalang tersebut.


Maka jika semua menyepakati apa yang telah kami sebutkan tadi, sebagian orang beralih dari kesepakatan itu lalu membolehkan pengangkatan seorang imam di negeri yang tidak dijangkau oleh pengaruh perhatian imam. Pendapat ini dinisbatkan kepada Syaikh kami Abul Hasan (Al Asy’ari -pent) dan Ustadz Abu Ishaq Al Isfaroyini -ra- dan selain keduanya. Mereka bertujuan untuk memelihara kemaslahatan makhluk. Mereka berkata: “Apabilah maksud/tujuan dari keberadaan imamah adalah memperbaiki kemaslahatan umum, menata berbagai urusan, menjaga perbatasan, sehingga apabila mudah untuk mengangkat satu imam yang dapat menjalankan perintah, maka hal itu lebih baik, harus direalisasikan sebagai keharusan politik dan wilayah. 


Dan jika hal itu sulit, maka sama sekali tidak dibolehkan membiarkan daerah yang tidak terjangkau oleh imam untuk terabaikan begitu saja tanpa dihimpun oleh seorang pengatur, tidak dicegah (kejahatan mereka -pent) oleh seorang pencegah. Maka aspek (yang dituntut) adalah hendaknya mereka mengangkat tempat berlindung di daerah mereka. Sebab jika mereka tetap diterlantarkan maka mereka akan berdesakan menuju kerasnya kebinasaan, dan ini merupakan perkara yang nyata yang tidak mungkin untuk ditolak“.


Dalam hal ini aku (Imam Al Haromain) berpendapat, dengan minta pertolongan kepada Allah: jika telah ada sebelumnya akad imamah kepada orang yang layak, dan kita memandang dia memegang akad dengan otoritas penuh (mustaqillan bin nadhori) yang berlaku di semua negeri, kemudian nampak atau mencul secara tiba-tiba sesuatu yang dapat menghalangi perhatiannya, maka tidak ada alasan untuk menelantarkan orang-orang yang tidak terjangkau oleh perintah imam. Akan tetapi mereka hendaknya mengangkat seorang pemimpin (amir), sehingga mereka dapat merujuk kepada pandangannya, bersandar kepada perintahnya, terikat kepada syari’ah yang dibawa oleh Al Musthofa -saw- dalam apa yang mereka kerjakan dan mereka tinggalkan. Dan yang demikian itu bukanlah jabatan imam. 


Maka seandainya berbagai penghalang yang ada telah hilang, dan imam sudah mampu memperhatikan mereka, maka amir dan rakyatnya harus tunduk kepada sang imam dan menyampaikan salam kepadanya, sedangkan imam mempermudah udzur mereka, memelihara urusan mereka. Apabila dia (imam) menyetujui orang yang mereka angkat (sebagai amir) maka (keputusan mereka itu) berlaku, tapi jika dia melihat perlu adanya penggantian amir, maka pendapatnya diikuti, dan kepadanyalah (kaum muslimin) merujuk.[1] ….


Ulasan penutup:
Demikianlah uraian Imam Al Haramain tentang pengangkatan dua imam. Beliau menyatakan bahwa imam itu wajib satu tidak boleh berbilang. Jika ada wilayah yang terhalang sehingga tidak terjangkau oleh pemeliharaan imam, maka mereka harus mengangkat amir (pemimpin) sendiri. Tapi, menurut beliau, jabatan amir ini tidak boleh disamakan dengan jabatan imamah, tapi hanya semacam kepala daerah. Jika suatu saat hal yang menghalangi sampainya perhatian imam ke wilayah itu hilang, maka amir dan rakyatnya wajib mengakui dan tunduk kepada pemerintahan sang imam. Bahkan, imam berhak memutuskan apakah pemimpin daerah tersebut terus menjabat sebagai amir di daerah itu ataukah diganti dengan amir baru yang ditunjuk oleh imam. Jadi jelas, imam Al Haramain adalah ulama yang mengharamkan keberadaan dua imamah di seluruh dunia. Wallahu a’lam.


[1] Diterjemahkan dari : Imamul Haromain Abul Ma’ali Al Juwaini,Ghiyatsul Umam fit Tiyatsidz Dzulam, (Iskandariah: Darud Da’wah, 1400 H), hlm. 125 – 129

Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif