Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla
Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.
Bukti Cinta
Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.
(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)
Kamis, 23 Agustus 2012
Jilbab Bukan Kewajiban Namun Pilihan , : Kata JIL .
Jilbab adalah masalah fundamental yang bukanlah masalah furu’iyyah sebagaimana dikira segelintir orang. Sampai-sampai para ulama berkata bahwa siapa yang menentang wajibnya jilbab, maka ia kafir dan murtad. Sedangkan orang yang tidak mau mengenakan jilbab karena mengikuti segelintir orang tanpa mengingkari wajibnya, maka ia adalah orang yang berdosa, namun tidak kafir.
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59). Ayat ini menunjukkan wajibnya jilbab bagi seluruh wanita muslimah.
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nur: 30-31).
Dalil yang menunjukkan wajibnya jilbab adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata, “Pada dua hari raya, kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haid dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum muslimin dan doa mereka. Tetapi wanita-wanita haid harus menjauhi tempat shalat mereka. Seorang wanita bertanya:, “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)?” Beliau menjawab, “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.” (HR. Bukhari no. 351 dan Muslim no. 890).
Para ulama sepakat (berijma’) bahwa berjilbab itu wajib. Yang mereka perselisihkan adalah dalam masalah wajah dan kedua telapak tangan apakah wajib ditutupi.
Apa Itu Jilbab?
Dalam Lisanul ‘Arob, jilbab adalah pakaian yang lebar yang lebih luas dari khimar (kerudung) berbeda dengan selendang (rida’) dipakai perempuan untuk menutupi kepala dan dadanya.[1] Jadi kalau kita melihat dari istilah bahasa itu sendiri, jilbab adalah seperti mantel karena menutupi kepala dan dada sekaligus.
Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa jilbab adalah pakaian atas (rida’)[2] yang menutupi khimar. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, ‘Ubaidah, Al Hasan Al Bashri, Sa’id bin Jubair, Ibrahim An Nakho’i, dan ‘Atho’ Al Khurosaani. Untuk saat ini, jilbab itu semisal izar (pakaian bawah). Al Jauhari berkata bahwa jilbab adalah “milhafah” (kain penutup).[3]
Asy Syaukani rahimahullah berkata bahwa jilbab adalah pakaian yang ukurannya lebih besar dari khimar.[4] Ada ulama yang katakan bahwa jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh badan wanita. Dalam hadits shahih dari ‘Ummu ‘Athiyah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
“Hendaklah saudaranya mengenakan jilbab untuknya.” Al Wahidi mengatakan bahwa pakar tafsir mengatakan, “Yaitu hendaklah ia menutupi wajah dan kepalanya kecuali satu mata saja.”[5]
Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Zaadul Masiir memberi keterangan mengenai jilbab. Beliau nukil perkataan Ibnu Qutaibah, di mana ia memberikan penjelasan, “Hendaklah wanita itu mengenakan rida’nya (pakaian atasnya).” Ulama lainnya berkata, “Hendaklah para wanita menutup kepala dan wajah mereka, supaya orang-orang tahu bahwa ia adalah wanita merdeka (bukan budak).”[6]
Syaikh As Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa jilbab adalah milhafah (kain penutup atas), khimar, rida’ (kain penutup badan atas) atau selainnya yang dikenakan di atas pakaian. Hendaklah jilbab tersebut menutupi diri wanita itu, menutupi wajah dan dadanya.[7]
Kita pun dapat menyaksikan praktek jilbab di masa salaf dahulu.
قال علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس: أمر الله نساء المؤمنين إذا خرجن من بيوتهن في حاجة أن يغطين وجوههن من فوق رؤوسهن بالجلابيب، ويبدين عينًا واحدة.
‘Ali bin Abi Tholhah berkata, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Allah telah memerintahkan kepada wanita beriman jika mereka keluar dari rumah mereka dalam keadaan tertutup wajah dan atas kepala mereka dengan jilbab dan yang nampak hanyalah satu mata.”[8]
وقال محمد بن سيرين: سألت عَبيدةَ السّلماني عن قول الله تعالى: { يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ } ، فغطى وجهه ورأسه وأبرز عينه اليسرى.
Muhammad bin Sirin berkata, “Aku pernah bertanya pada As Salmani mengenai firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”, lalu beliau berkata, “Hendaklah menutup wajah dan kepalanya, dan hanya menampakkan mata sebelah kiri.”[9]
Pandangan Kalangan Liberal Mengenai Jilbab
Salah satu tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal), Siti Musdah Mulia, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah (Ciputat, Banten) punya beberapa pendapat yang nyleneh mengenai jilbab dan ia terkenal dengan pemikiran kebebasannya. Dalam talkshow dan bedah buku yang berjudul “Psychology of Fashion: Fenomena Perempuan (Melepas Jilbab)”, juga di forum lainnya, beliau mengeluarkan beberapa pendapat kontroversial mengenai jilbab yang kami rinci sebagai berikut[10]:
Pertama: Menurut Bu Profesor Musdah Mulia, guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat, realitas sosiologis di masyarakat, jilbab tidak menyimbolkan apa-apa, tidak menjadi lambang kesalehan dan ketakwaan. Tidak ada jaminan bahwa pemakai jilbab adalah perempuan shalehah, atau sebaliknya perempuan yang tidak memakai jilbab bukan perempuan shalehah. Jilbab tidak identik dengan kesalehan dan ketakwaan seseorang.
Sanggahan:
Bagaimana mungkin kita katakan jilbab bukanlah lambang kesalehan dan ketakwaan. Orang liberal biasa hanya pintar berkoar-koar tetapi tidak pernah ilmiah. Kalau mau ilmiah, yah seharusnya berhujjah dengan dalil. Ibnul Qayyim menukilkan perkataan seorang penyair:
العلم قال الله قال رسوله
“Ilmu adalah apa kata Allah, apa kata Rasul-Nya.” Jadi kalau bukan Al Qur’an dan hadits yang dibawa namun hanya pintar omong, maka itu berarti tidak ilmiah.[11]
Bagaimana dikatakan berjilbab bukan lambang ketakwaan? Sedangkan takwa sebagaimana kata Tholq bin Habib,
“Takwa: engkau melakukan ketaatan pada Allah atas cahaya dari Allah dalam rangka mengharap rahmat Allah dan engkau meninggalkan maksiat pada Allah atas cahaya dari Allah dalam rangka takut akan adzab Allah.”[12]Bukankah kewajiban mengenakan jilbab sudah diperintahkan dalam ayat,
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“ (QS. Al Ahzab: 59). Juga dalam ayat,
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya”(QS. An Nur: 31). Ini jelas perintah dan menjalankan perintah adalah bagian dari ketakwaan dan bentuk taat pada Allah.
Enggan berjilbab jelas termasuk maksiat karena dalam ayat setelah menerangkan sifat mulia wanita yang berjilbab ditutup dengan,
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nur: 31). Kalau disuruh bertaubat berarti tidak berjilbab termasuk maksiat. Lantas bagaimana dikatakan berjilbab bukan bagian dari takwa? Sungguh aneh jalan pikirannya.
Jika jilbab bukan lambang ketakwaan karena ada yang berjilbab bermaksiat, maka kita boleh saja menyatakan shalat juga bukan lambing ketakwaan karena ada yang shalat namun masih bermaksiat. Namun tidak ada yang berani menyatakan untuk shalat pun demikian. Jadi, tidak jelas bagaimana cara berpikir para pengagum kebebasan (orang liberal).
Kata Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat terakhir di atas, yang namanya keberuntungan diraih dengan melakukan perintah Allah dan Rasul-Nya dan meninggalkan yang dilarang.[13] Jadi, biar selamat di akhirat dan selamat dari jilatan neraka, maka berjilbablah.
Kedua: Bu Profesor yang sangat mengagumi Gus Dur berkata pula, “Tidaklah keliru jika dikatakan bahwa jilbab dan batas aurat perempuan merupakan masalah khilafiyah yang tidak harus menimbulkan tuduh menuduh apalagi kafir mengkafirkan. Mengenakan, tidak mengenakan, atau menanggalkan jilbab sesungguhnya merupakan pilihan, apapun alasannya. Yang paling bijak adalah menghargai dan menghormati pilihan setiap orang, tanpa perlu menghakimi sebagai benar atau salah terhadap setiap pilihan.”
Ibu Musdah menyampaikan pula, “Kalau begitu, jelas bahwa menggunakan jilbab tidak menjadi keharusan bagi perempuan Islam, tetapi bisa dianggap sebagai cerminan sikap kehati-hatian dalam melaksanakan tuntutan Islam. Kita perlu membangun sikap apresiasi terhadap perempuan yang atas kerelaannya sendiri memakai jilbab, sebaliknya juga menghargai mereka yang dengan pilihan bebasnya melepas atau membuka kembali jilbabnya. Termasuk mengapresiasi mereka yang sama sekali tidak tertarik memakai jilbab.”
Sanggahan:
Waw … satu lagi pendapat yang aneh. Bagaimana bisa dikatakan jilbab adalah suatu pilihan bukan suatu kewajiban?
Ayat-ayat yang menerangkan wajibnya jilbab sudah jelas. Hadits pun mengiyakannya. Begitu pula ijma’ para ulama menyatakan wajib bagi wanita menutup seluruh badannya dengan jilbab kecuali terdapat perselisihan pada wajah dan kedua telapak tangan. Sebagian ulama menyatakan bahwa wajah dan telapak tangan juga wajib ditutup. Sebagaian lain mengatakan bahwa wajah dan telapak tangan boleh dibuka, namun menutupnya adalah sunnah (bukan wajib). Dalil keduanya sama-sama kuat, jadi tetap kedua pendapat tersebut mewajibkan jilbab, namun diperselisihkan manakah yang boleh ditampakkan.
Jadi batasan aurat wanita memang ada khilaf apakah wajah dan telapak tangan termasuk aurat. Namun para ulama sepakat akan wajibnya jilbab. Sehingga pendapat Bu Profesor barangkali perlu dirujuk kembali dan harus membuktikan keilmiahannya, bukan hanya asal berkoar.
Kalau jilbab telah dinyatakan wajib, maka tidak ada kata tawar menawar atau dijadikan pilihan. Kalau dipaksakan dalam Perda agar para pegawai berjilbab, itu langkah yang patut didukung. Bukan malah seperti kata JIL yang menganggap Perda tersebut malah mengekang wanita.
Begitu pula tidak boleh mengapresiasi orang yang memamerkan lekuk tubuhnya, gaya rambut dan pamer aurat. Karena perbuatan mereka patut diingkari. Jika punya kekuasaan (sebagai penguasa), maka diingkari dengan tangan. Jika tidak mampu, maka dengan lisan dan tulisan sebagai peringatan dan pengingkaran. Jika tidak mampu, maka wajib diingkari dengan hati. Jika dengan hati tidak ada pengingkaran malah memberikan apresiasi, maka ini jelas tanda persetujuan pada kemungkaran dan tanda bermasalahnya iman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dia merubah hal itu dengan lisannya. Apabila tidak mampu lagi, hendaknya dia ingkari dengan hatinya dan inilah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49)
Ini juga pendapat beliau yang sama dengan sebelumnya. Kalau demikian adanya, maka berarti terserah kita menentukan manakah pakaian muslimah. Kalau di Arab pakai abaya dan hitam-hitam disertai cadar. Kalau di Indonesia, cukup kebaya. Kalau di Barat, tidak mengapa memakai pakaian renang. Apalagi di musim panas, cukup pakai celana pendek (yang terlihat paha) dan baju “u can see”. Karena semua dikembalikan pada individu masing-masing dan dilihat kondisi dan kebutuhan, tidak ada standar baku. Beda halnya jika yang jadi patokan adalah firman Allah dan sabda Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka jelas patokannya.
Keempat: Beliau kembali berkata, “Jika teks-teks tentang jilbab tersebut dibaca dalam konteks sekarang, terlihat bahwa perempuan tidak perlu lagi memakai jilbab hanya sekadar agar mereka dikenali, atau mereka dibedakan dari perempuan yang berstatus budak, atau agar mereka tidak diganggu laki-laki jahat. Di masa sekarang, tidak ada lagi perbudakan, dan busana bukan ukuran untuk menetapkan identitas seseorang,” tandasnya nyleneh.
Bu Musdah juga mengatakan, “Jika perlindungan itu tidak dibutuhkan lagi karena sistem keamanan yang sudah sedemikian maju dan terjamin, tentu perempuan dapat memilih secara cerdas dan bebas apakah ia masih mau mengenakan jilbab atau tidak.”
Sanggahan:
Yang beliau singgung di sini adalah surat Al Ahzab berikut:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
Mari kita simak kalam ulama salaf mengenai tafsiran ayat di atas.
As Sudi rahimahullah mengatakan, “Dahulu orang-orang fasik di Madinah biasa keluar di waktu malam ketika malam begitu gelap di jalan-jalan Madinah. Mereka ingin menghadang para wanita. Dahulu orang-orang miskin dari penduduk Madinah mengalami kesusahan. Jika malam tiba para wanita (yang susah tadi) keluar ke jalan-jalan untuk memenuhi hajat mereka. Para orang fasik sangat ingin menggoda para wanita tadi. Ketika mereka melihat para wanita yang mengenakan jilbab, mereka katakan, “Ini adalah wanita merdeka. Jangan sampai menggagunya.” Namun ketika mereka melihat para wanita yang tidak berjilbab, mereka katakan, “Ini adalah budak wanita. Mari kita menghadangnya.”
Mujahid rahimahullah berkata, “Hendaklah para wanita mengenakan jilbab supaya diketahui manakah yang termasuk wanita merdeka. Jika ada wanita yang berjilbab, orang-orang yang fasik ketika bertemu dengannya tidak akan menyakitinya.”[1]
Penjelasan para ulama di atas menerangkan firman Allah mengenai manfaat jilbab,
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ
“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal.” (QS. Al Ahzab: 59)
Asy Syaukani rahimahullah menerangkan, “Ayat (yang artinya), ” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal”, bukanlah yang dimaksud supaya salah satu di antara mereka dikenal, yaitu siapa wanita itu. Namun yang dimaksudkan adalah supaya mereka dikenal, manakah yang sudah merdeka, manakah yang masih budak. Karena jika mereka mengenakan jilbab, itu berarti mereka mengenakan pakaian orang merdeka.”[2]
Inilah yang membedakan manakah budak dan wanita merdeka dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa wanita yang tidak berjilbab berarti masih menginginkan status dirinya sebagai budak. Bahkan Ibnu Katsir mengatakan bahwa jilbab bertujuan bukan hanya untuk membedakan dengan budak, bahkan dengan wanita jahiliyah.[3] Sehingga orang yang tidak berjilbab malah kembali ke zaman jahiliyah. Yang dimaksud zaman jahiliyah adalah masa sebelum diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebut jahiliyah karena berada dalam zaman penuh kebodohan dan kesesatan sebagaimana disebutkan dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith.
Coba bandingkan, manakah yang lebih paham Qur’an, As Sudi dan Mujahid yang terkenal dengan keahliannya dalam ilmutafsir dan juga Asy Syaukani yang tidak perlu lagi diragukan ilmunya, ataukah professor kemarin sore yang biasa memplintir ayat? Tentu saja yang kita ikuti adalah yang lebih salaf dari Bu Musdah Mulia. Seorang sahabat yang mulia, ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Siapa saja di antara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang masih hidup tidaklah aman dari fitnah.”[4] Benarlah kata Ibnu Mas’ud, lebih terfitnah lagi atau lebih rusak jika yang diambil perkataan adalah orang JIL yang muara logikanya tidak jelas dan tanpa pernah mau merujuk pada dalil atau perkataan ulama, maunya mengandalkan logikanya saja. Biar kita selamat, ambillah perkataan salaf daripada mengambil perkataan JIL yang logikanya asal-asalan.
Jikalau mau dikatakan bahwa wanita muslimah tidak butuh identitas jilbab lagi untuk saat ini. Maka jawabnya, justru sangat butuh. Karena dengan jilbab seorang wanita lebih mudah dikenal, ia muslim ataukah bukan. Bahkan lebih mudah dikenal ia wanita baik-baik ataukah wanita nakal melalui jilbabnya.
Jika Bu Musdah Mulia menganggap bahwa jilbab hanya bertujuan agar tidak diganggu laki-laki dan sekarang keamanan wanita sudah terjamin. Jawabnya, sudah terjamin dari mana? Justru kalau kita buat persentase, yang tidak berjilbab itu yang lebih banyak jadi korban perkosaan. Maka benarlah firman Allah,
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ
“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.” (QS. Al Ahzab: 59). Kita bandingkan perkataan Bu Musdah dengan seorang ulama. Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata, “Ayat di atas menunjukkan, orang yang tidak mengenakan jilbab akan lebih mudah digoda. Karena jika seorang wanita tidak berjilbab, maka orang-orang akan mengira bahwa ia bukanlah wanita ‘afifaat (wanita yang benar-benar menjaga diri atau kehormatannya). Akhirnya orang yang punya penyakit dalam hatinya muncul hal yang bukan-bukan, lantas mereka pun menyakitinya dan menganggapnya rendah seperti anggapan mereka itu budak. Akhirnya orang-orang yang ingin berlaku jelek merendahkannya.”[5] Apa yang disebutkan oleh Syaikh As Sa’di memang benar dan sesuai realita di lapangan.
So … apa dengan alasan Bu Musdah seperti itu, jilbab mesti dilepas karena wanita sekarang tidak butuh identitas semacam itu? Silakan kita memilih, perkataan Bu Profesor ini lebih diikuti ataukah firman Allah, sabda Rasul dan perkataan ulama yang jelas lebih tinggi ilmunya dan pemahaman agamanya dibanding Ibu Profesor.
Kelima: “Perempuan beriman tentu secara sadar akan memilih busana sederhana dan tidak berlebih-lebihan sehingga menimbulkan perhatian publik, dan yang pasti juga tidak untuk pamer (riya)”, ujar Bu Musdah Mulia.
Sanggahan:
Bagaimana bisa berjilbab disebut riya’? Aneh …
Sebagaimana laki-laki jika ia diwajibkan shalat jama’ah di masjid, apa kita katakan ia riya’ jika pergi ke masjid? Jika seseorang ingin pergi shalat ‘ied ke lapangan, apa juga disebut riya’?
Jadi dengan alasan Bu Musdah, laki-laki tidak usah pergi ke masjid untuk berjama’ah. Begitu pula kita tidak perlu shalat ‘ied di tanah lapang karena khawatir riya’.
Justru kita katakan bahwa untuk amalan wajib yang harus ditampakkan, maka wajib ditampakkan.
Kata Al-Izz bin ‘Abdus Salam, amalan yang disyariatkan untuk ditampakkan seperti adzan, iqomat, ucapan takbir ketika shalat, membaca Qur’an secara jahr dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya’ dan Shubuh, pen), ketika berkhutbah, amar ma’ruf nahi mungkar, mendirikan shalat jum’at dan shalat secara berjamaah, merayakan hari-hari ‘ied, jihad, mengunjungi orang-orang yang sakit, dan mengantar jenazah, maka amalan semacam ini tidak mungkin disembunyikan. Jika pelaku amalan-amalan tersebut takut berbuat riya, maka hendaknya ia berusaha keras untuk menghilangkannya hingga dia bisa ikhlas dalam beramal. Sehingga dengan demikian dia akan mendapatkan pahala amalannya dan juga pahala karena kesungguhannya menghilangkan riya’ tadi, karena amalan-amalan ini maslahatnya juga untuk orang lain.
Jika demikian, maka jilbab itu wajib ditampakkan dan itu bukanlah riya’. Bahkan kata Fudhail bin ‘Iyadh,
“Meninggalkan amalan karena manusia termasuk riya’. Melakukan amalan karena manusia termasuk syirik.”[6]
Keenam: Bu Musdah Mulia juga berkata, “Memakai jilbab bukanlah suatu kewajiban bagi perempuan Islam. Itu hanyalah ketentuan Al Qur’an bagi para istri dan anak-anak perempuan Nabi.”
Sanggahan:
Bagaimana dikatakan jilbab hanya untuk anak dan istri nabi, sedangkan dalam ayat sudah dijelaskan pula secara terang bagi wanita beriman,
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin …” (QS. Al Ahzab: 59). Ayat hijab ini secara jelas menunjukkan perintah tersebut ditujukan pula untuk orang-orang beriman, namun terkhususkan pada istri dan anak Nabi.[7]
Taruhlah jika perintah tersebut hanya untuk istri Nabi dan anak-anaknya. Kita dapat berikan jawaban bahwa jika untuk istri dan anak beliau saja diperintahkan untuk berjilbab padahal ada Nabi di sini mereka yang jelas mereka lebih terjaga dari gangguan, maka tentu wanita lainnya lebih pantas untuk menutup dirinya dengan jilbab. Lebih dari itu, jilbab adalah sebagai tanda kemulian istri dan anak Nabi[8]. Jadi, barangsiapa ingin mulia, berjilbablah dengan segera.
Ketujuh: Beliau menyatakan pula, “Asbab nuzul ayat-ayat tentang perintah jilbab disimpulkan Musdah, bahwa jilbab lebih bernuansa ketentuan budaya ketimbang ajaran agama. Sebab, jika jilbab memang diterapkan untuk perlindungan atau meningkatkan prestige kaum perempuan beriman, maka dengan demikian dapatlah dianggap bahwa jilbab merupakan sesuatu yang lebih bernuansa budaya daripada bersifat religi.”
Sanggahan:
Tidak sedikit komentar kaum penentang jilbab mengatakan, kalau jilbab adalah hasil adopsi budaya bangsa Arab. Sehingga menurut mereka, bangsa yang di luar Arab, tidak memiliki kewajiban untuk mengikuti budaya Arab.
Jika katakan jilbab adalah budaya Arab, maka kita mesti lihat sejarah Arab sebelum Islam itu datang. Kalau kita lihat penjelasan ulama, ternyata menunjukkan bahwa jilbab itu datang ketika Islam itu ada. Karena sebelumnya di zaman jahiliyah, wanita itu telanjang dada. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Perempuan pada zaman jahiliyah biasa melewati laki-laki dengan keadaan telanjang dada, tanpa ada kain sedikit pun. Kadang-kadang mereka memperlihatkan leher, rambut dan telinganya. Kemudian Allah akhirnya memerintahkan wanita beriman untuk menutupi diri dari hal-hal semacam tadi.”[9]
Jelas sudah, kalau jilbab yang dianjurkan Islam beda jauh dengan budaya Arab. Lalu ada alasan lainkah yang mengatakan jilbab itu sebuah budaya Arab? Jika merujuk pada jilbab yang menutup aurat, jelas Islam lah yang menggagasnya.
Ayat-ayat dan hadits yang telah kami jelaskan di awal sudah menunjukkan bahwa jilbab adalah bukan budaya arab, namun ajaran Islam yang langsung diperintahkan oleh Allah. Ajaran Islam bersifat universal untuk orang Arab dan non Arab sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”(QS. Al Anbiya’: 107). Ibnu Jarir Ath Thobari berkata bahwa tidaklah Nabi Muhammad itu diutus melainkan sebagai rahmat bagi seluruh makhluk Allah yang beliau diutus kepadanya.[10]
Demikian beberapa penjelasan sebagai sanggahan pada beberapa syubhat atau kerancuan yang biasa disampaikan orang-orang Liberal atau JIL. Moga Allah terus menguatkan iman kita dengan akidah dan pemahaman agama yang benar, serta menghindarkan kita dari pemahaman orang-orang yang tak tahu arah.
Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!
☛ Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi) Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,
1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)
2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”
3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)
☛ Imam Malik (Imam Mazhab Maliki) Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,
1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)
2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)
3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)
☛ Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i) Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,
1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)
2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.” (Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)
3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)
4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)
5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)
6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)
7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)
8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)
9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)
☛ Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)
Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,
1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)
2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)
3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).
Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?
Ilmu & Amal
Tauhid
“Wahai anak
muda, aku akan mengajarkan kepadamu
beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah
menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan
mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau
memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika
engkau meminta pertolongan, mintalah
pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa
seandainya suatu kaum berkumpul untuk
memberi suatu manfaat kepadamu, maka
mereka tidak dapat memberi manfaat
kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah
ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika
mereka berkumpul untuk memberi suatu
kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak
dapat memberi kemudharatan kepadamu
kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan
atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran-
lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia
berkata,” Hadist ini hasan shahih).
☛ ☛ ☛
“Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar