SIAPAKAH YANG BENAR ???
MOHON MAAF:
Baca dulu ya, baru komentar ….
Kawan-kawan yang aku cintai karena Alloh…
Waktu aku kecil, aku tahunya di masyarakat Muslim hanya ada dua kelompok besar. Kalian tentu sudah tahu, kan? Ya, benar! NU dan Muhamadiyah. Yang aku tahu, kalau ada yang sholat subuhnya nggak pakai qunut, berarti dia Muhammadiyah. Trus, kalau ada yang sholat subuhnya pakai qunut, berarti dia itu NU.
Seiring berjalannya waktu, aku baru tahu kalau ternyata dalam Islam banyak sekali kelompok-kelompok. Sebut saja misalnya Salafy, IM, HT, JT, LDII,….dll. masih banyak sekali. Bagi kawan-kawan yang ingin mengetahui nama dari kelompok-kelompok yang ada dalam Islam, silakan baca buku tulisannya Hartono Ahmad Jaiz.
Melihat realita yang seperti ini, wajar kiranya kalau aku lantas bertanya-tanya: Kelompok manakah yang benar yang harus aku ikuti? Apakah semuanya berada di atas kebenaran? Jika semuanya berada di atas kebenaran, kenapa mereka saling bertikai? Bahkan ada yang mengkafirkan kelompok lain yang tidak sepaham dengannya?
Belum lama aku berkenalan seorang mantan petinggi kelompok XXXX. Dia baru saja bercerai dengan istrinya karena istrinya tidak mau mengikuti suaminya. Istrinya tetap kekeuh bergabung dengan kelompok XXXX. Istrinya menganggap kafir orang yang berada di luar kelompoknya. Akhirnya mereka pun bercerai. Padahal kenalanku itu sudah punya 3 orang anak. Dan diapun begitu sangat mencintai anak-anaknya itu.
Teman-teman…
Apakah kalian merasa bingung juga? Jika ya, mari kita sedikit berbincang-bincang tentang masalah ini. Mudah-mudahan bisa sedikit memberi pencerahan.
Kawan-kawan nggak usah takut. Aku nggak akan memvonis salah satu kelompok. Aku cuma ingin mengajak kita semua berfikir kritis. Lagi pula nggak ada gunanya aku memvonis-vonis di sini. Ntar ada yang tersinggung lagi…he..he…
Aku cuma ingin membahas tentang apa itu KEBENARAN. Sebab dengan mengetahui KEBENARAN kita akan mengetahui yang salah. Ibarat penggaris, dengannya kita bisa mengetahui mana kain yang ukurannya sesuai keinginan kita dan mana yang bukan.
Ali Rodhoyallohu ‘anhu pernah berkata, “Sesungguhya kebenaran itu tidak dinilai dari orang perorang. TApi orang peroranglah yang harus dinilai dengan kebenaran. Kenalilah kebenaran, maka engkau akan mengetahui orang yang berada di atasnya.”
Jadi, untuk menilai mana yang benar dan mana yang salah, terlebih dahulu kita harus mengenal kebenaran itu sendiri. Lalu, apakah KEBENARAN itu?
Kawan-kawan…
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“KEBENARAN itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu. (QS. Al-Baqoroh: 147)
Ya, KEBENARAN adalah yang berasal dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Lalu, apa yang berasal dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala?
‘
Jawabnya adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah wahyu dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Tiada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. (Lihat QS. Al-Baqarah: 2)
Al-Qur’an diturunkan Alloh kepada Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa Sallam. Kemudian beliau menjelaskan isi Al-Qur’an kepada para Sahabat beliau. Beliau menjelaskan Al-Qur’an kepada para Sahabat beliau lewat bimbingan dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Jadi pasti penjelasan beliau itu benar adanya. (Lihat QS. An-Najm ayat 4).Penjelasan Al-Qur’an oleh Rosululloh shollallahu ‘alaihi wa Sallam dikenal dengan isitilah As-Sunnah.
Jadi al-Qur’an dan As-Sunnah adalah kebenaran. Makanya Rosululloh menjamin keselamatan kepada orang yang berpegang teguh kepada keduanya.
Beliau bersabda, “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegang dengannya, yaitu Kitabullah (Al Quran) dan sunnah Rasulullah”. (HR. Muslim)
Kemudian, para Sahabat Rosul mengamalkan Al-Qur’an dan Sunnah pada masa hidup mereka. Mereka mengamalkannya sesuai dengan bimbingan Rosululloh. Jika ada yang belum mereka pahami, langsung mereka tanyakan kepada beliau. Maka pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah oleh para Sahabat dikatakan sebagai pemahaman yang benar. Sebab kalau mereka keliru, pasti langsung diluruskan oleh Rosululloh Shollallahu ‘alaihi wa Sallam.
Dari uraian di atas, bisa kita simpulkan bahwa KEBENARAN adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan yang dipahami oleh para Sahabat Rosul. Maka wajar kiranya jika Alloh Subhanahu wa Ta’ala menyuruh kita untuk mengikuti jejak mereka.
Agar lebih jelas, mari kita simak kisah berikut ini. Simaklah baik-baik kawan… Semoga kita semua diberi petunjuk oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala ke atas jalan yang lurus.
Imam Ahmad bin Hambal, salah seorang imam Ahlu Sunnah terkemuka, mendapat cobaan begitu berat disebabkan pendiriannya yang kokoh bahwa Al-Qur an bukan makhluk, tetapi Kalamullah. Pendirian beliau ini menyelisihi paham Khalifah pada waktu itu, Al-Watsiq beserta para tokoh Mu’tazilah diantaranya Ibnu Abi Duwwad. Mereka memaksakan paham ini kepada seluruh rakyatnya, termasuk para ulama pada waktu itu. Khalifah Al-Watsiq suka menguji manusia dengan permasalahan tersebut (tentang Al Qur an Makhluk). Barang siapa yang sepakat dengannya maka dibiarkan bebas, namun siapa yang menentangnya, maka akan di hukum, baik dipenjara, dicambuk, bahkan dibunuh. Imam ahmad bin Hambal adalah salah satu dari sekian ulama yang dijebloskan ke penjara, dicambuk berpuluh-puluh kali, bahkan beliau sempat akan dibunuh. Namun karena pertolongan Allah, kemudian karena keikhlasan, keteguhan serta kefaqihan beliau, maka hukuman bunuh dibatalkan, bahkan khalifah Al-Watsiq bertaubat dari fahamnya tersebut setelah mendengar perkataan Imam Ahmad ketika berdialog dengan Ibnu Abi Duwwad.
Imam Adz-Dzahabi meriwayatkan kisahnya dari Al-Muhtadi Billah Muhammad bin Al-Watsiq, anak sang khalifah Al-Watsiq di kitabnya Siyaru A’laamin Nubalaa’ juz XI :312, ini ceritanya:
Berkata Al-Muhtadi Billah Muhammad bin Al-Watsiq: “Dahulu ayahku (khalifah Al-Watsiq) bila hendak membunuh seseorang, ia mengajak kami menyaksikannya. Suatu saat dihadapkan kepadanya seorang tua yang disemir rambutnya dalam keadaan terikat.” (Orang tua ini adalah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal Rahimahullah). Ayahku itu berkata: “ijinkan Abu Abdillah (Ibnu Abi Duwwad, kuniyahnya sama dengan imam Ahmad) beserta para sahabatnya untuk masuk. Yang ia maksud adalah Ibnu Abi Duwwad. Perawi berkata: ”Maka masuklah orang tua itu (Imam Ahmad).” Orang itu berucap: “Assalamu’alaika Yaa Amiral Mukminin. (semoga keselamatan atas dirimu). Beliau (Al-Watsiq) menjawab: “Laa Sallamallahu Alaika.” (semoga Allah tidak memberikan keselamatan atas kamu). Lelaki itu kontan menanggapi: “Sungguh jelek cara kamu memberikn salam. Padahal Allah Ta’ala berfirman (artinya): “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).” (An-Nisaa : 86).
Ibnu Abi Duwwad berkomentar: “Lelaki itu (Imam Ahmad) pandai bersilat lidah.” Maka ayahku berkata: “Ajaklah ia bicara.” Ibnu Abi Duwwad bertanya: “Apa pendapatmu tentang Al Qur an?” Lelaki tua itu menjawab: “Dia tidak bersikap adil terhadapku. Aku yang seharusnya bertanya.” Ayahku berkata: “Tanyalah Ibnu Abi Duwwad.” Lelaki itu bertanya: “Apa pendapatmu tentang Al-Qur’an?” Ibnu Abi Duwwad menjawab: “Al-Qur’an itu makhluk” (bukan kalam Illahi). Syaikh (lelaki tua) itu bertanya lagi: “Apakah ucapan itu sesuatu yang sudah diketahui oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar dan Al-Khulafa Ar-Rasyidun yang lain atau belum?” Ibnu Abi Duwwad menjawab: “Belum.” Lelaki itu berkata: “Maha Suci Allah, sesuatu (masalah agama) yang tidak diketahui Nabi, namun kamu mengetahuinya.” Ibnu Abi Duwwad menjadi malu. Lalu ia berkata: “Beri aku kesempatan lagi.” Lelaki tua itu berkata lagi: “Pertanyaannya tetap sama (yakni apakah Abu Bakar, Umar dan Al-Khulafa Ar-Rasyidun yang lain mengetahui hal itu).” Ibnu Abi Duwwad menjawab: “Ya, mereka telah mengetahuinya.” Lelaki tua itu bertanya lagi: “Mereka mengetahuinya, namun tidak mendakwahkannya kepada manusia?” Ibnu Abi Duwwad menjawab: “Iya”. Lelaki tua itu bertanya lagi: “Apakah yang cukup mereka lakukan tidak cukup bagimu?” Perawi berkata: “Maka ayahku lantas bangkit dan memasuki majelis, ia langsung duduk dan bertanya: “Sesuatu yang tidak diketahui Nabi Shalallahu alaihi Wasallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan seluruh Al-Khulafa Ar-Rasyidun, namun kamu mengetahuinya? Lalu sesuatu yang mereka ketahui dan tidak mereka dakwahkan, masih belum cukup bagimu sehingga kamu mendakwahkannya?” Beliau lalu menyuruh orang membuka ikatan lelaki tua itu dan memberikan kepadanya empat ratus dinar, lalu mengijinkannya pulang. Semenjak itu Ibnu Abi Duwwad dipandang sebelah mata oleh khalifah Al-Watsiq, dan setelah itu ayahku tidak pernah lagi menguji orang lain dengan masalah itu. (sampai di sini riwayat Imam Adz-Dzahabi).
Apa yang keluar dari perkataan beliau (Imam Ahmad Rahimahullahu Ta’ala) merupakan kaidah besar bagi kaum Muslimin dalam memahami agamanya. Kaidah yang dapat membentengi umat Islam dari berbagai paham yang menyimpang. Kaidah ini yakni: Mengambil agama dari apa yang diajarkan Nabi Sallahu ‘Alaihi Wasallam dan memahaminya dengan apa yang dipahami oleh shahabat beliau radiallahu anhum jami’an dan mencukupkan diri dengannya.
(Sumber: dari sini)
Baca dulu ya, baru komentar ….
Kawan-kawan yang aku cintai karena Alloh…
Waktu aku kecil, aku tahunya di masyarakat Muslim hanya ada dua kelompok besar. Kalian tentu sudah tahu, kan? Ya, benar! NU dan Muhamadiyah. Yang aku tahu, kalau ada yang sholat subuhnya nggak pakai qunut, berarti dia Muhammadiyah. Trus, kalau ada yang sholat subuhnya pakai qunut, berarti dia itu NU.
Seiring berjalannya waktu, aku baru tahu kalau ternyata dalam Islam banyak sekali kelompok-kelompok. Sebut saja misalnya Salafy, IM, HT, JT, LDII,….dll. masih banyak sekali. Bagi kawan-kawan yang ingin mengetahui nama dari kelompok-kelompok yang ada dalam Islam, silakan baca buku tulisannya Hartono Ahmad Jaiz.
Melihat realita yang seperti ini, wajar kiranya kalau aku lantas bertanya-tanya: Kelompok manakah yang benar yang harus aku ikuti? Apakah semuanya berada di atas kebenaran? Jika semuanya berada di atas kebenaran, kenapa mereka saling bertikai? Bahkan ada yang mengkafirkan kelompok lain yang tidak sepaham dengannya?
Belum lama aku berkenalan seorang mantan petinggi kelompok XXXX. Dia baru saja bercerai dengan istrinya karena istrinya tidak mau mengikuti suaminya. Istrinya tetap kekeuh bergabung dengan kelompok XXXX. Istrinya menganggap kafir orang yang berada di luar kelompoknya. Akhirnya mereka pun bercerai. Padahal kenalanku itu sudah punya 3 orang anak. Dan diapun begitu sangat mencintai anak-anaknya itu.
Teman-teman…
Apakah kalian merasa bingung juga? Jika ya, mari kita sedikit berbincang-bincang tentang masalah ini. Mudah-mudahan bisa sedikit memberi pencerahan.
Kawan-kawan nggak usah takut. Aku nggak akan memvonis salah satu kelompok. Aku cuma ingin mengajak kita semua berfikir kritis. Lagi pula nggak ada gunanya aku memvonis-vonis di sini. Ntar ada yang tersinggung lagi…he..he…
Aku cuma ingin membahas tentang apa itu KEBENARAN. Sebab dengan mengetahui KEBENARAN kita akan mengetahui yang salah. Ibarat penggaris, dengannya kita bisa mengetahui mana kain yang ukurannya sesuai keinginan kita dan mana yang bukan.
Ali Rodhoyallohu ‘anhu pernah berkata, “Sesungguhya kebenaran itu tidak dinilai dari orang perorang. TApi orang peroranglah yang harus dinilai dengan kebenaran. Kenalilah kebenaran, maka engkau akan mengetahui orang yang berada di atasnya.”
Jadi, untuk menilai mana yang benar dan mana yang salah, terlebih dahulu kita harus mengenal kebenaran itu sendiri. Lalu, apakah KEBENARAN itu?
Kawan-kawan…
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“KEBENARAN itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu. (QS. Al-Baqoroh: 147)
Ya, KEBENARAN adalah yang berasal dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Lalu, apa yang berasal dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala?
‘
Jawabnya adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah wahyu dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Tiada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. (Lihat QS. Al-Baqarah: 2)
Al-Qur’an diturunkan Alloh kepada Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa Sallam. Kemudian beliau menjelaskan isi Al-Qur’an kepada para Sahabat beliau. Beliau menjelaskan Al-Qur’an kepada para Sahabat beliau lewat bimbingan dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Jadi pasti penjelasan beliau itu benar adanya. (Lihat QS. An-Najm ayat 4).Penjelasan Al-Qur’an oleh Rosululloh shollallahu ‘alaihi wa Sallam dikenal dengan isitilah As-Sunnah.
Jadi al-Qur’an dan As-Sunnah adalah kebenaran. Makanya Rosululloh menjamin keselamatan kepada orang yang berpegang teguh kepada keduanya.
Beliau bersabda, “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegang dengannya, yaitu Kitabullah (Al Quran) dan sunnah Rasulullah”. (HR. Muslim)
Kemudian, para Sahabat Rosul mengamalkan Al-Qur’an dan Sunnah pada masa hidup mereka. Mereka mengamalkannya sesuai dengan bimbingan Rosululloh. Jika ada yang belum mereka pahami, langsung mereka tanyakan kepada beliau. Maka pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah oleh para Sahabat dikatakan sebagai pemahaman yang benar. Sebab kalau mereka keliru, pasti langsung diluruskan oleh Rosululloh Shollallahu ‘alaihi wa Sallam.
Dari uraian di atas, bisa kita simpulkan bahwa KEBENARAN adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan yang dipahami oleh para Sahabat Rosul. Maka wajar kiranya jika Alloh Subhanahu wa Ta’ala menyuruh kita untuk mengikuti jejak mereka.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Alloh ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Alloh, dan Alloh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”. (QS. At-Taubah:100)
Rosul pun menyuruh kita mengikuti jejak mereka.
Suatu hari Rosululloh Shollallahu ‘alaihi wa Sallam mengabarkan bahwa kelak ummat Islam akan berpecah belah menjadi berkelompok-kelompok dan bergolong-golongan. Beliau mengatakan bahwa semua kelompok terancam Neraka, kecuali satu kelompok”
SIAPAKAH KELOMPOK YANG SATU INI YANG SELAMAT DARI ANCAMAN NERAKA?
Beliau berkata:
“…(yaitu) yang aku dan para Sahabatku berada di atasnya.”
(HR. At-Tirmidzi dan Al-Hakim)
Jadi, kelompok manapun di dunia ini yang mengaku dirinya berada di atas kebenaran, maka wajib mengikuti jejak Rosululloh Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dan para Sahabat beliau. Mereka harus mencocokkan aqidah, ibadah, dan akhlak mereka dengan aqidah, ibadah, dan akhlak Rosululloh Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dan para Sahabat beliau.
Kalau Rosululloh dan para Sahabatnya mengimani bahwa tidak ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad, mereka pun wajib mengimani demikian.
….
….
Dst.
Jadi demikian. Jika kita mengaku bahwa diri kita berada di atas kebenaran, apakah aqidah, ibadah, dan muamalah kita sudah sesuai dengan aqidah, ibadah, dan muamalahnya Rosululloh dan para Sahabatnya???Agar lebih jelas, mari kita simak kisah berikut ini. Simaklah baik-baik kawan… Semoga kita semua diberi petunjuk oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala ke atas jalan yang lurus.
Ya Alloh…
Tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar adalah benar, dan berilah kekuatan kepada kami untuk mengikutinya.
Tunjukkanlah kepada kami bahwa yang salah adalah salah, dan berilah kekuatan kepada kami untuk mengikutinya.
Amiin ya Alloh…
Dialog Imam Ahmad Dengan Tokoh Mu’tazilahImam Ahmad bin Hambal, salah seorang imam Ahlu Sunnah terkemuka, mendapat cobaan begitu berat disebabkan pendiriannya yang kokoh bahwa Al-Qur an bukan makhluk, tetapi Kalamullah. Pendirian beliau ini menyelisihi paham Khalifah pada waktu itu, Al-Watsiq beserta para tokoh Mu’tazilah diantaranya Ibnu Abi Duwwad. Mereka memaksakan paham ini kepada seluruh rakyatnya, termasuk para ulama pada waktu itu. Khalifah Al-Watsiq suka menguji manusia dengan permasalahan tersebut (tentang Al Qur an Makhluk). Barang siapa yang sepakat dengannya maka dibiarkan bebas, namun siapa yang menentangnya, maka akan di hukum, baik dipenjara, dicambuk, bahkan dibunuh. Imam ahmad bin Hambal adalah salah satu dari sekian ulama yang dijebloskan ke penjara, dicambuk berpuluh-puluh kali, bahkan beliau sempat akan dibunuh. Namun karena pertolongan Allah, kemudian karena keikhlasan, keteguhan serta kefaqihan beliau, maka hukuman bunuh dibatalkan, bahkan khalifah Al-Watsiq bertaubat dari fahamnya tersebut setelah mendengar perkataan Imam Ahmad ketika berdialog dengan Ibnu Abi Duwwad.
Imam Adz-Dzahabi meriwayatkan kisahnya dari Al-Muhtadi Billah Muhammad bin Al-Watsiq, anak sang khalifah Al-Watsiq di kitabnya Siyaru A’laamin Nubalaa’ juz XI :312, ini ceritanya:
Berkata Al-Muhtadi Billah Muhammad bin Al-Watsiq: “Dahulu ayahku (khalifah Al-Watsiq) bila hendak membunuh seseorang, ia mengajak kami menyaksikannya. Suatu saat dihadapkan kepadanya seorang tua yang disemir rambutnya dalam keadaan terikat.” (Orang tua ini adalah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal Rahimahullah). Ayahku itu berkata: “ijinkan Abu Abdillah (Ibnu Abi Duwwad, kuniyahnya sama dengan imam Ahmad) beserta para sahabatnya untuk masuk. Yang ia maksud adalah Ibnu Abi Duwwad. Perawi berkata: ”Maka masuklah orang tua itu (Imam Ahmad).” Orang itu berucap: “Assalamu’alaika Yaa Amiral Mukminin. (semoga keselamatan atas dirimu). Beliau (Al-Watsiq) menjawab: “Laa Sallamallahu Alaika.” (semoga Allah tidak memberikan keselamatan atas kamu). Lelaki itu kontan menanggapi: “Sungguh jelek cara kamu memberikn salam. Padahal Allah Ta’ala berfirman (artinya): “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).” (An-Nisaa : 86).
Ibnu Abi Duwwad berkomentar: “Lelaki itu (Imam Ahmad) pandai bersilat lidah.” Maka ayahku berkata: “Ajaklah ia bicara.” Ibnu Abi Duwwad bertanya: “Apa pendapatmu tentang Al Qur an?” Lelaki tua itu menjawab: “Dia tidak bersikap adil terhadapku. Aku yang seharusnya bertanya.” Ayahku berkata: “Tanyalah Ibnu Abi Duwwad.” Lelaki itu bertanya: “Apa pendapatmu tentang Al-Qur’an?” Ibnu Abi Duwwad menjawab: “Al-Qur’an itu makhluk” (bukan kalam Illahi). Syaikh (lelaki tua) itu bertanya lagi: “Apakah ucapan itu sesuatu yang sudah diketahui oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar dan Al-Khulafa Ar-Rasyidun yang lain atau belum?” Ibnu Abi Duwwad menjawab: “Belum.” Lelaki itu berkata: “Maha Suci Allah, sesuatu (masalah agama) yang tidak diketahui Nabi, namun kamu mengetahuinya.” Ibnu Abi Duwwad menjadi malu. Lalu ia berkata: “Beri aku kesempatan lagi.” Lelaki tua itu berkata lagi: “Pertanyaannya tetap sama (yakni apakah Abu Bakar, Umar dan Al-Khulafa Ar-Rasyidun yang lain mengetahui hal itu).” Ibnu Abi Duwwad menjawab: “Ya, mereka telah mengetahuinya.” Lelaki tua itu bertanya lagi: “Mereka mengetahuinya, namun tidak mendakwahkannya kepada manusia?” Ibnu Abi Duwwad menjawab: “Iya”. Lelaki tua itu bertanya lagi: “Apakah yang cukup mereka lakukan tidak cukup bagimu?” Perawi berkata: “Maka ayahku lantas bangkit dan memasuki majelis, ia langsung duduk dan bertanya: “Sesuatu yang tidak diketahui Nabi Shalallahu alaihi Wasallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan seluruh Al-Khulafa Ar-Rasyidun, namun kamu mengetahuinya? Lalu sesuatu yang mereka ketahui dan tidak mereka dakwahkan, masih belum cukup bagimu sehingga kamu mendakwahkannya?” Beliau lalu menyuruh orang membuka ikatan lelaki tua itu dan memberikan kepadanya empat ratus dinar, lalu mengijinkannya pulang. Semenjak itu Ibnu Abi Duwwad dipandang sebelah mata oleh khalifah Al-Watsiq, dan setelah itu ayahku tidak pernah lagi menguji orang lain dengan masalah itu. (sampai di sini riwayat Imam Adz-Dzahabi).
Apa yang keluar dari perkataan beliau (Imam Ahmad Rahimahullahu Ta’ala) merupakan kaidah besar bagi kaum Muslimin dalam memahami agamanya. Kaidah yang dapat membentengi umat Islam dari berbagai paham yang menyimpang. Kaidah ini yakni: Mengambil agama dari apa yang diajarkan Nabi Sallahu ‘Alaihi Wasallam dan memahaminya dengan apa yang dipahami oleh shahabat beliau radiallahu anhum jami’an dan mencukupkan diri dengannya.
(Sumber: dari sini)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar