Pluralisme adalah sebuah asumsi yang meletakkan kebenaran agama-agama sebagai kebenaran yang relatif dan menempatkan agama-agama pada posisi setara, apapun jenis agama itu. Pluralisme agama meyakini bahwa semua agama adalah jalan-jalan yang sah menuju tuhan yang sama. Atau, paham ini menyatakan, bahwa agama adalah persepsi manusia yang relatif terhadap tuhan yang mutlak, sehingga –karena kerelatifannnya- maka seluruh agama tidak boleh mengklaim atau meyakini bahwa agamanya yang lebih benar dari agama lain atau meyakini hanya agamanya yang benar.[1]
Pluralisme jelas bertolak belakang dengan Islam karena Allah telah menyatakan dalam al Quran bahwa:
Pertama: Islam Satu-Satunya Agama yang Benar
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran [3]: 85)
Dalam “al Tafsir al Muyassar” disebutkan, “Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam; yang maknanya adalah berserah diri kepada Allah dengan tauhid, tunduk kepada-Nya dengan ketaatan dan penghambaan, serta tunduk kepada Rasulullah dengan mengimaninya, mengikutinya dan mencintainya lahir dan batin, maka tidak akan diterima agama itu darinya dan di akhirat termasuk orang yang rugi, tidak mendapatkan bagian untuk dirinya.”[2]
Kedua: Al Quran Satu-satunya Kitab Suci Yang Harus Diikuti
Manusia juga hanya Allah boleh berhukum kepada al Quran dan wajib menjadikannya sebagai pedoman hidup, serta meninggalkan kitab-kitab suci yang lain. Allah berfirman:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian(yang menguji kebenaran) terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. Al Maidah [5]: 48)
Ketiga: Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam Satu-Satunya Nabi yang Wajib Diteladani Oleh Seluruh Manusia
Nabi Muhammad adalah satu-satunya utusan Allah yang harus diikuti dan kaum muslimin wajib meyakini bahwa beliau diutus untuk seluruh umat manusia.
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.” (QS. Al Ahzab [33]: 40)
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil.” (QS. Al A’raf [7]: 157)
Rasulullah juga menegaskan dalam sabdanya:
(( وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يِسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ َيمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ ))
“Demi Yang jiwaku di Tangan-Nya, tidak seorangpun dari umat manusia yang mendengarku; Yahudi maupun Nasrani, kemudian mati dan tidak beriman dengan ajaran yang aku bawa melainkan dia adalah penghuni neraka.” (HR Muslim)
Semua dalil di atas sangat jelas, sejelas sinar matahari di siang bolong, menyatakan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar, al Quran adalah satu-satunya kitab suci yang wajib dipedomani dan Muhammad adalah satu-satunya utusan Allah yang harus diikuti. Siapa pun yang tidak meyakini semua ini maka ia berarti orang kafir dan kelak di akhirat tidak akan mendapatkan keselamatan.
Pluralisme agama adalah ajakan kepada kekufuran karena ia hakikatnya adalah ajakan untuk melucuti keyakinan paling fundamen di dalam ajaran agama Islam, prinsip yang sangat strategis untuk membedakan seseorang masih dapat dikatakan sebagai muslim atau tidak. Maka menggandeng pluralisme dengan ajaran Islam adalah suatu hal yang kontradiktif.
Namun anehnya, para “cendikiawan” yang terpengaruh dengan gaya dan pemikiran Barat tetap nekat mendukung pluralisme dan melakukan jutifikasi seolah itu berasal dari Islam. Hingga tidak jarang mereka menyitir (baca: memplintir) ayat-ayat al Quran untuk memuaskan syahwat liberalnya. Berikut adalah diantara ayat yang kerap mereka jadikan sebagai ‘landasan’ untuk mendukung pluralisme beserta bantahannya:
Ayat Pertama
لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)” (QS. Al Baqarah [2]: 256)
Menurut orang-orang liberal, ayat ini mendukung pluralisme. Padahal sama sekali tidak. Ayat ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, menyatakan bahwa kita sebagai pemeluk agama Islam tidak boleh memaksakan seorang untuk masuk kepada agama Islam. Mengapa? Pada lanjutan ayat ini dijelaskan,
“Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.”
Maknanya, karena argumentasi dan bukti-bukti kebenaran Islam telah sangat jelas, maka tidak perlu lagi memaksakan orang untuk memeluknya. Orang yang Allah berikan petunjuk, dilapangkan hatinya, dicahayai mata batinnya, ia akan masuk kepada Islam di atas bukti dan hujjah. Adapun orang yang Allah butakan mata batinnya, Allah tutup pendengaran dan penglihatannya, maka masuknya ia kedalam Islam dengan paksaan tidak ada manfaatnya.[3]
Selanjutnya, Allah menyatakan, bahwa walaupun tidak ada paksaan untuk masuk kepada agama Islam, bukan berarti pilihan seseorang untuk tidak memeluk agama Islam tidak berkonsekwensi apa-apa. Orang yang memeluk Islam Allah nyatakan berarti telah memegang pedoman yang benar, yang berarti sebaliknya, orang yang tidak memeluk Islam dengan kufur terhadap Allah maka ia berada dalam kesesatan. Ini jelas tidak selaras dengan tafsir liberal yang mengatakan bahwa ayat ini mendukung pluralisme yang membenarkan seluruh agama-agama. Perhatikan kelanjutan ayat ini:
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Dengan demikian, dalam ayat ini sendiri terdapat bantahan terhadap klaim orang-orang liberal bahwa ayat ini mendukung pluralisme.
Ayat Kedua
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqarah [2]: 62)
Ayat ini juga disebut-sebut sebagai ayat yang mendukung pluralisme agama karena ayat ini –katanya- menunjukkan pengakuan terhadap eksistensi agama lain.[4] Namun mari kita perhatikan bagaimana ahli tafsir menjelaskan makna sebenarnya atas ayat ini.
Muhammad bin Thahir bin Asyur mengatakan, “Maksud dari lafadz “siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah” adalah iman yang sempurna, yaitu mencakup iman kepada risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan indikasi penempatannya, dan indikasi lafadz “dan beramal shaleh”. Karena syarat diterimanya amal shaleh adalah iman secara syar’i, sesuai firman Allah “Dan ia (tidak pula) termasuk orang yang beriman” (QS. Al Balad [90]: 17). Allah menganggap orang yang tidak beriman kepada risalah Muhammad, maka berarti ia sama saja ia tidak beriman kepada Allah.”[5]
As Sady berkata, “Ayat ini turun mengenai sahabat-sahabat Salman Al Farisi ketika ia menceritakan tentang mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Mereka dahulu shaum, shalat dan beriman kepada engkau, serta mereka bersaksi bahwa engkau akan diutus menjadi nabi” Rasulullah kemudian bersabda, “Wahai Salman, mereka sesungguhnya ahli neraka.” Hal ini membuat hati Salman menjadi resah. Maka Allah menurunkan ayat ini.
Maka berimannya orang Yahudi adalah berpegang teguh terhadap Taurat dan sunnah nabi Musa ‘alaihissalam sampai datang nabi Isa. Ketika datang nabi Isa, orang yang masih berpegang kepada Taurat dan sunnah nabi Musa maka ia binasa. Begitu pula imannya orang Nasrani adalah berpegang teguh terhadap Injil dan syariat nabi Isa adalah iman yang diterima hingga datang nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang tidak mengikuti nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak meninggalkan syariat Isa dan Injil, maka ia binasa.”[6]
Hal ini juga ditegaskan dengan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
“Demi Yang jiwaku di Tangan-Nya, tidak seorangpun dari umat manusia yang mendengarku; Yahudi maupun Nasrani, kemudian mati dan tidak beriman dengan ajaran yang aku bawa melainkan dia adalah penghuni neraka.” (HR Muslim)
Ayat Ketiga
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. Asy Syura [42]: 13)
Ayat ini juga di antara ayat yang dikatakan mendukung pluralisme agama karena dalam ayat ini disebutkan tentang syariat nabi-nabi sebelum nabi Muhammad shallallah ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan bahwa seluruh ajaran para nabi adalah sama, maka dengan demikian agama-agama yang ada sekarang pun adalah sama.
Padahal, ayat ini juga tidak menunjukkan kebenaran faham pluralisme agama sama sekali. Benar, bahwa pokok ajaran para nabi seluruhnya adalah sama, seperti yang disebutkan dalam ayat ini. Semua para nabi dan rasul yang diutus oleh Allah membawa ajaran yang satu.
Syaikh Bakr Abu Zaid mengatakan bahwa semua para nabi memiliki tujuan pengutusan yang sama dalam tiga perkara:
- Mereka diutus dengan agama universal yaitu; penyembahan kepada Allah saja dan tidak ada sekutu bagi-Nya dengan cara berdakwah kepada tauhid dan berpegang teguh kepada tali agama-Nya yang kuat serta meninggalkan sesembahan yang lain.
- Mereka diutus untuk mengenalkan jalan untuk sampai kepada tujuan tersebut dengan mengajarkan tentang kenabian, serta syariat-syariat seperti shaum, shalat, zakat, jihad dan lain sebagainya berupa perintah-perintah dan larangan-larangan.
- Mereka juga diutus untuk mengabarkan apa yang akan terjadi ketika manusia berjumpa dengan Allah kelak setelah meninggalkan dunia ini, yaitu tentang iman kepada hari akhir, kematian, kebangkitan, surga dan neraka.
Inilah yang dimaksud seperti dalam firman Allah surat Asy-Syura ayat 13.[7]
Ayat di atas sejatinya difahami bukan untuk mendukung pluralisme agama, namun ajakan kepada agama Allah yang inti ajarannya dibawa oleh seluruh para nabi termasuk nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia adalah agama Islam dalam arti berserah diri kepada Allah, mentaati-Nya, beribadah hanya kepada-Nya dan berlepas diri dari kesyirikan, kemudian beriman kepada kenabian, awal permulaan dan tempat kembali.[8]
Beriman kepada kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah Allah mengutusnya adalah bagian dari ketundukan kepada Allah yang sangat mewanti-wanti manusia untuk mentaatinya, karena dengan ajaran yang dibawanya kita dapat beribadah kepada Allah sesuai dengan yang dikehendaki oleh-Nya. Oleh karena itu kemudian para ulama mengatakan bahwa Islam dengan makna khusus, sebagai satu-satunya agama yang diterima oleh Allah, adalah agama Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ayat Keempat
وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ غَنِيًّا حَمِيدًا
“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.” (QS. An Nisa [4]: 131)
Ayat ini dikatakan oleh liberalis mendukung pluralisme karena menjelaskan tentang kesatuan ketuhanan. Sungguh dugaan yang rapuh dan tidak berdasar. Ayat ini menunjukkan keesaan Allah dalam kerajaan langit dan bumi yang siapapun tidak dapat mengingkarinya. Allah pencipta, pemberi rizki dan pengatur alam semesta. Jika Allah satu-satunya Dzat yang memiliki semua itu, maka janganlah manusia kufur terhadap-Nya dengan beribadah dan taat kepada selain-Nya.
Inilah maksud dari ayat ini sebagaimana juga dikuatkan oleh ayat-ayat yang lain yang sangat banyak dalam al Qur`an. Kenyataan bahwa Allah adalah satu-satunya penguasa dan raja alam semesta menjadi bukti keesaan Allah dalam hal penyembahan.
Lalu bagaimana mungkin ayat ini dapat dikatakan mendukung pluralisme agama? Agama-agama selain Islam itu telah merusak hak Allah yang paling asasi dengan beribadah kepada selain-Nya, lalu bagaimana bisa kita katakan bahwa seluruh agama menjadi sama?
Wallahu ‘alam wa shallallahu ‘ala wabiyyinaa Muhammad
[1] Lihat “Pluralisme Agama, Musuh Agama-agama” hal. 3 (pdf), Dr. Adian Husaini
[2] Al Tafsir al Muyassar, 1/384 [Maktabah Syamilah]
[3] Lihat Tafsir al Quran al Adzim 1/682
[4] LIhat Buku Moh Shofan, “Pluralisme Menyelamatkan Agama-Agama” hal. 77
[5] Lihat al Tahrir wa al Tanwir 1/539, cet. Al Dar al Tunisiyyah.
[6] Lihat Tafsir al Qur`an al Adzim: 1/284
[7] Al Ibthâl li Nadzariyyati al Khalth Bayna Dînil Islâm wa Ghairi Minal Adyân, hal. 50
Tidak ada komentar:
Posting Komentar