Pembaca yang dirahmati Allah,… Mungkin sering kita mendengar beberapa ucapan seperti “I hate Monday” atau ucapan yang sering kita dengar di kalangan ibu-ibu ketika hujan turun “gara-gara hujan pakaian jadi ga kering!” atau “gara-gara hujan terus menerus jalanan jadi becek, banjir dan susah keluar”, menyalahkan musim kemarau sebagai penyebab kebakaran hutan, atau kepercayaan terhadap hari tertentu yang membawa sial dan yang semisalnya.1 Ternyata ucapan-ucapan di atas dilarang oleh agama kita karena termasuk dalam kategori mencaci masa. Mari kita simak penjelasan tentang masalah ini bersama syaikh Salim Ied Al-Hilali hafizhahullah.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radiyallahu anhu dari Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam bahwa beliau bersabda:
“Allah azza wa jalla berfirman, ‘Ibnu Adam telah menyakiti-Ku! Mereka berkata, ‘Duhai sialnya masa!’ Janganlah mengatakan: ‘Duhai sialnya masa,’ sebab Aku-lah Pencipta masa, Aku-lah yang membolak-balikkan siang dan malam. Sekiranya Aku berkehendak, niscaya Aku akan menggenggam keduanya (yakni menahan siang dan malam)!’”2
Dalam riwayat lain disebutkan, “Mereka memaki masa.” Diriwayatkan dari jalur lain dengan lafazh:
“Janganlah kalian memaki masa, karena Aku-lah Pencipta masa. Siang dan malam adalah milik-Ku dan Aku-lah yang membolak-balikkan keduanya. Dan Aku-lah yang mengangkat dan menurunkan raja-raja.”3
Dari jalur lain, hadits ini diriwayatkan dengan lafazh: “Janganlah kalian mencaci masa, karena Allah-lah yang menciptakan masa.”4 Dari jalur lainnya, hadits ini diriwayatkan dengan lafazh,
“Allah azza wa jalla berfirman, ‘Anak Adam mencela-Ku, ia berkata, ‘Duhai sialnya masa!’ Padahal Aku-lah Pencipta masa, Aku-lah Pencipta masa.” (Hasan, HR Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah [598])
Kandungan Bab:
Pertama. Memaki masa tidak terlepas dari dua hal; syirik atau mencaci Allah.
Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah rahimahullahu berkata dalam kitab Zaadul Ma’aad (II/354-355): “Terangkum di dalamnya tiga kerusakan:Pertama, memaki sesuatu yang tidak layak dimaki. Sebab, masa adalah makhluk ciptaan Allah yang selalu menuruti perintah-Nya, berjalan menurut kehendak-Nya. Sebenarnya, pencaci masa itulah yang lebih berhak dicaci dan dimaki.
Kedua, memaki masa termasuk perbuatan syirik. Sebab ia memaki masa karena anggapannya bahwa masa dapat memberi manfaat dan mudharat. Di samping anggapan bahwa masa itu zhalim, karena telah merugikan orang yang tidak pantas dirugikan, memberi orang yang tidak pantas diberi, mengangkat derajat orang yang tidak pantas diangkat derajatnya, menahan orang yang tidak pantas ditahan haknya. Jadi menurut para pencela itu, masa adalah sesuatu yang paling zhalim. Banyak ditemui sya’ir-sya’ir orang-orang zhalim yang berisi caci maki terhadap masa. Dan kebanyakan orang-orang jahil secara terang-terangan mencaci maki dan menjelek-jelekkan masa.
Ketiga, cacian itu mereka lontarkan terhadap siapa yang telah menetapkan ketentuan tersebut, sekiranya ketentuan itu mengikuti hawa nafsu mereka, niscaya hancurlah langit dan bumi. Jika sesuai dengan hawa nafsu, mereka pun memuji masa dan menyanjungnya. Padahal hakikatnya, Allah yang menciptakan masa itulah yang memberi dan menahan, yang mengangkat dan menurunkan, yang memuliakan dan menghinakan, masa sama sekali tidak punya kuasa atas hal tersebut. Jadi, memaki masa sama halnya dengan mencaci Allah. Oleh karena itu, (dia) dianggap telah menyakiti Allah Subhanahu Wata’ala dalam kitab ash-Shahihain, dari hadits Abu Hurairah Radiyallahu anhu, dari Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam beliau bersabda:
“Allah Ta’ala berfirman, ‘Anak Adam telah menyakiti-Ku, ia memaki masa, padahal Aku-lah (yang menciptakan) masa.’”
Memaki masa tidak terlepas dari dua hal;
- Mencela Allah atau menyekutukan-Nya. Sebab, jika ia berkeyakinan bahwa masa juga menentukan di samping Allah, maka ia jatuh (ke dalam) musyrik. Jika ia berkeyakinan bahwa hanya Allah sajalah yang menentukannya, lalu ia mencela ketentuan itu, berarti ia telah mencaci Allah.
- Bathilnya anggapan kaum Jahiliyyah yang menyandarkan musibah yang menimpa mereka kepada masa. Karena sesungguhnya Allah sematalah yang menentukannya.Al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah (XII/357), “Sabda Nabi Shalallahu alaihi wassalam: ‘Janganlah anak Adam itu mengatakan, ‘Duhai sialnya masa!’” Maksudnya, orang-orang Arab dahulu biasa memaki masa saat musibah menimpa mereka. Mereka mengatakan, ‘Mereka tertimpa malapetaka zaman!’ atau, ‘Zaman telah melumat mereka.’ Allah telah menyebutkan tentang mereka dalam Kitab-Nya:
وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ
“Dan mereka berkata, ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa.” (Al-Jaatsiyah: 24).
Jika mereka mengkambinghitamkan masa atas seluruh musibah yang menimpa mereka, berarti mereka telah mencela penciptanya. Makian mereka itu sebenarnya tertuju kepada Allah. Karena pada hakikatnya, Allahlah yang menciptkan perkara-perkara yang mereka sandarkan kepada masa. Maka dari itu mereka dilarang memaki masa.
Al-Hafizh al-Munziri berkata dalam kitab at-Targhiib wat Tarhiib (III/482):
“Makna hadits ini ialah, dahulu orang-orang Arab, jika tertimpa musibah atau perkara yang dibenci, mereka memaki masa dengan keyakinan bahwa penentu musibah yang menimpa mereka itu adalah masa. Sebagaimana halnya orang-orang Arab dahulu meminta hujan kepada bintang-bintang. Kata mereka: ‘Kami diberi hujan karena bintang ini,’ dengan keyakinan bahwa penentu hujan turun itu adalah bintang tersebut. Maka, hal itu sama halnya dengan mengutuk Penciptanya, dan hanya Allah sajalah yang menciptakan dan melakukan segala sesuatu. Karena itulah Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam melarangnya.”
3. Ad-Dahr (masa) tidak termasuk nama di antara nama-nama Allah dan tidak juga sifat di antara sifat-sifat-Nya. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menukil dalam kitab Fathul Baari (X/566), dari al-Qadhi ‘Iyadh,
“Sebagian orang yang bukan ahli tatqiq mengira bahwa ad-Dahr (masa) termasuk salah satu nama Allah. Itu jelas sebuah kesalahan, sebab masa adalah waktu perjalanan dunia. Sebagian orang mendefinisikan masa sebagai waktu bagi seluruh ketentuan Allah di dunia atau ketentuan-Nya atas setiap manusia sebelum mereka mati. Sebagian kaum Dahriyyah dan Mu’aththilah berpegang kepada zhahir hadits ini. Mereka mengangkatnya sebagai hujjah terhadap orang-orang jahil. Menurut mereka, tidak ada pencipta selain itu. Cukuplah sebagai bantahannya, sabda Nabi dalam hadits tersebut: ‘Aku-lah Pencipta masa, Aku-lah yang membolak-balik siang dan malam.’ Mustahil ada sesuatu yang membolak-balik dirinya sendiri!? Mahatinggi Allah dari apa yang mereka ucapkan!”
4. Yang benar, kata ‘ad-Dahr’ dalam kalimat “anaddahr” dibaca rafa’. Namun, Muhammad bin Dawud menyelisihinya. Imam al-Baghawi rahimahullah berkata dalam kitab Syarhus Sunnah (XII/358):
“Ibnu Dawud mengingkari riwayat ahli hadits yang berbunyi “anaddahr”, ia berkata, ‘Sekiranya hadits itu seperti yang diriwayatkan oleh ahli hadits, berarti ad-dahr termasuk salah satu nama Allah.’ Ia sendiri membacanya: “wa anaddahr, uqollibullaila wa annahaar”, menurutnya kata ad-Dahr dibaca nashab sebagai zharaf (keterangan waktu), artinya, “Aku-lah yang membentangkan masa dan zaman, Aku-lah yang membolak-balikkan siang dan malam.”
Sejumlah ulama lainnya membenarkan bacaan dengan merafa’kan kata ad-dahr, mereka membacanya, “fainnallaha huwaddahr”. Dalam masalah ini, Ibnu Dawud telah menyelisihi Jumhur Ulama yang merafa’kan kata ad-dahr, wallaahu a’lam.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menukil dalam kitab Fathul Baari (X/575), perkataan Ibnul Jauzi sebagai berikut: “Bacaan yang paling tepat adalah dengan merafa’kan kata ad-dahr, hal itu dapat dilihat dari beberapa sisi:
Pertama, begitulah yang tercantum dalam riwayat-riwayat ahli hadits.
Kedua, kalaulah dibaca nashab, maka takdir kalimatnya menjadi, ‘Aku-lah yang membolak-balikkan masa.’ Tidak ada penyebutan alasan pelarangan memaki masa. Sebab, Allah sematalah yang mendatangkan kebaikan dan keburukan silih berganti. Berarti hadits itu bukanlah larangan memaki masa.
Ketiga, riwayat(lah) yang menyebutkan “fainnallaha huwaddahr” (artinya: Sesungguhnya Allah itulah (Pencipta)masa.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
Sumber: Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, diterjemahkan oleh Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), jilid I/87-91 buah karya Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali , Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah.
Catatan Kaki:
1. Kepercayaan masyarakat terhadap larangan bepergian atau melakukan suatu hajat pada hari selasa atau sabtu. Karena kedua hari ini dianggap oleh kelompok masyarakat tertentu dapat membawa kemalangan/kesialan apabila dilanggarnya pantangan tersebut.
2. HR Bukhari [4826,7491] dan Muslim [2246][3]
3. Shahih, HR Ahmad [2/496]
4. HR Muslim [2246]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar