Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Rabu, 01 Agustus 2012

JANGAN MENCACI MASA



waktuPembaca yang dirahmati Allah,… Mungkin sering kita mendengar beberapa ucapan seperti “I hate Monday” atau ucapan yang sering kita dengar di kalangan ibu-ibu ketika hujan turun “gara-gara hujan pakaian jadi ga kering!” atau “gara-gara hujan terus menerus jalanan jadi becek, banjir dan susah keluar”, menyalahkan musim kemarau sebagai penyebab kebakaran hutan, atau kepercayaan terhadap hari tertentu yang membawa sial dan yang semisalnya.1 Ternyata ucapan-ucapan di atas dilarang oleh agama kita karena termasuk dalam kategori mencaci masa. Mari kita simak penjelasan tentang masalah ini bersama syaikh Salim Ied Al-Hilali hafizhahullah.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radiyallahu anhu dari Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam bahwa beliau bersabda:
“Allah azza wa jalla berfirman, ‘Ibnu Adam telah menyakiti-Ku! Mereka berkata, ‘Duhai sialnya masa!’ Janganlah mengatakan: ‘Duhai sialnya masa,’ sebab Aku-lah Pencipta masa, Aku-lah yang membolak-balikkan siang dan malam. Sekiranya Aku berkehendak, niscaya Aku akan menggenggam keduanya (yakni menahan siang dan malam)!’”2
Dalam riwayat lain disebutkan, “Mereka memaki masa.” Diriwayatkan dari jalur lain dengan lafazh:
“Janganlah kalian memaki masa, karena Aku-lah Pencipta masa. Siang dan malam adalah milik-Ku dan Aku-lah yang membolak-balikkan keduanya. Dan Aku-lah yang mengangkat dan menurunkan raja-raja.”3
Dari jalur lain, hadits ini diriwayatkan dengan lafazh: “Janganlah kalian mencaci masa, karena Allah-lah yang menciptakan masa.”4 Dari jalur lainnya, hadits ini diriwayatkan dengan lafazh,
“Allah azza wa jalla berfirman, ‘Anak Adam mencela-Ku, ia berkata, ‘Duhai sialnya masa!’ Padahal Aku-lah Pencipta masa, Aku-lah Pencipta masa.” (Hasan, HR Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah [598])
Kandungan Bab:
Pertama. Memaki masa tidak terlepas dari dua hal; syirik atau mencaci Allah.
Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah rahimahullahu berkata dalam kitab Zaadul Ma’aad (II/354-355): “Terangkum di dalamnya tiga kerusakan:Pertama, memaki sesuatu yang tidak layak dimaki. Sebab, masa adalah makhluk ciptaan Allah yang selalu menuruti perintah-Nya, berjalan menurut kehendak-Nya. Sebenarnya, pencaci masa itulah yang lebih berhak dicaci dan dimaki.
Kedua, memaki masa termasuk perbuatan syirik. Sebab ia memaki masa karena anggapannya bahwa masa dapat memberi manfaat dan mudharat. Di samping anggapan bahwa masa itu zhalim, karena telah merugikan orang yang tidak pantas dirugikan, memberi orang yang tidak pantas diberi, mengangkat derajat orang yang tidak pantas diangkat derajatnya, menahan orang yang tidak pantas ditahan haknya. Jadi menurut para pencela itu, masa adalah sesuatu yang paling zhalim. Banyak ditemui sya’ir-sya’ir orang-orang zhalim yang berisi caci maki terhadap masa. Dan kebanyakan orang-orang jahil secara terang-terangan mencaci maki dan menjelek-jelekkan masa.
Ketiga, cacian itu mereka lontarkan terhadap siapa yang telah menetapkan ketentuan tersebut, sekiranya ketentuan itu mengikuti hawa nafsu mereka, niscaya hancurlah langit dan bumi. Jika sesuai dengan hawa nafsu, mereka pun memuji masa dan menyanjungnya. Padahal hakikatnya, Allah yang menciptakan masa itulah yang memberi dan menahan, yang mengangkat dan menurunkan, yang memuliakan dan menghinakan, masa sama sekali tidak punya kuasa atas hal tersebut. Jadi, memaki masa sama halnya dengan mencaci Allah. Oleh karena itu, (dia) dianggap telah menyakiti Allah Subhanahu Wata’ala dalam kitab ash-Shahihain, dari hadits Abu Hurairah Radiyallahu anhu, dari Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam beliau bersabda:
“Allah Ta’ala berfirman, ‘Anak Adam telah menyakiti-Ku, ia memaki masa, padahal Aku-lah (yang menciptakan) masa.’”
Memaki masa tidak terlepas dari dua hal;
  1. Mencela Allah atau menyekutukan-Nya. Sebab, jika ia berkeyakinan bahwa masa juga menentukan di samping Allah, maka ia jatuh (ke dalam) musyrik. Jika ia berkeyakinan bahwa hanya Allah sajalah yang menentukannya, lalu ia mencela ketentuan itu, berarti ia telah mencaci Allah.
  2. Bathilnya anggapan kaum Jahiliyyah yang menyandarkan musibah yang menimpa mereka kepada masa. Karena sesungguhnya Allah sematalah yang menentukannya.Al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah (XII/357), “Sabda Nabi Shalallahu alaihi wassalam: ‘Janganlah anak Adam itu mengatakan, ‘Duhai sialnya masa!’” Maksudnya, orang-orang Arab dahulu biasa memaki masa saat musibah menimpa mereka. Mereka mengatakan, ‘Mereka tertimpa malapetaka zaman!’ atau, ‘Zaman telah melumat mereka.’ Allah telah menyebutkan tentang mereka dalam Kitab-Nya:
وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ
“Dan mereka berkata, ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa.” (Al-Jaatsiyah: 24).
Jika mereka mengkambinghitamkan masa atas seluruh musibah yang menimpa mereka, berarti mereka telah mencela penciptanya. Makian mereka itu sebenarnya tertuju kepada Allah. Karena pada hakikatnya, Allahlah yang menciptkan perkara-perkara yang mereka sandarkan kepada masa. Maka dari itu mereka dilarang memaki masa.
Al-Hafizh al-Munziri berkata dalam kitab at-Targhiib wat Tarhiib (III/482):
“Makna hadits ini ialah, dahulu orang-orang Arab, jika tertimpa musibah atau perkara yang dibenci, mereka memaki masa dengan keyakinan bahwa penentu musibah yang menimpa mereka itu adalah masa. Sebagaimana halnya orang-orang Arab dahulu meminta hujan kepada bintang-bintang. Kata mereka: ‘Kami diberi hujan karena bintang ini,’ dengan keyakinan bahwa penentu hujan turun itu adalah bintang tersebut. Maka, hal itu sama halnya dengan mengutuk Penciptanya, dan hanya Allah sajalah yang menciptakan dan melakukan segala sesuatu. Karena itulah Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam melarangnya.”
3. Ad-Dahr (masa) tidak termasuk nama di antara nama-nama Allah dan tidak juga sifat di antara sifat-sifat-Nya. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menukil dalam kitab Fathul Baari (X/566), dari al-Qadhi ‘Iyadh,
“Sebagian orang yang bukan ahli tatqiq mengira bahwa ad-Dahr (masa) termasuk salah satu nama Allah. Itu jelas sebuah kesalahan, sebab masa adalah waktu perjalanan dunia. Sebagian orang mendefinisikan masa sebagai waktu bagi seluruh ketentuan Allah di dunia atau ketentuan-Nya atas setiap manusia sebelum mereka mati. Sebagian kaum Dahriyyah dan Mu’aththilah berpegang kepada zhahir hadits ini. Mereka mengangkatnya sebagai hujjah terhadap orang-orang jahil. Menurut mereka, tidak ada pencipta selain itu. Cukuplah sebagai bantahannya, sabda Nabi dalam hadits tersebut: ‘Aku-lah Pencipta masa, Aku-lah yang membolak-balik siang dan malam.’ Mustahil ada sesuatu yang membolak-balik dirinya sendiri!? Mahatinggi Allah dari apa yang mereka ucapkan!”
4. Yang benar, kata ‘ad-Dahr’ dalam kalimat “anaddahr” dibaca rafa’. Namun, Muhammad bin Dawud menyelisihinya. Imam al-Baghawi rahimahullah berkata dalam kitab Syarhus Sunnah (XII/358):
“Ibnu Dawud mengingkari riwayat ahli hadits yang berbunyi “anaddahr”, ia berkata, ‘Sekiranya hadits itu seperti yang diriwayatkan oleh ahli hadits, berarti ad-dahr termasuk salah satu nama Allah.’ Ia sendiri membacanya: “wa anaddahr, uqollibullaila wa annahaar”, menurutnya kata ad-Dahr dibaca nashab sebagai zharaf (keterangan waktu), artinya, “Aku-lah yang membentangkan masa dan zaman, Aku-lah yang membolak-balikkan siang dan malam.”
Sejumlah ulama lainnya membenarkan bacaan dengan merafa’kan kata ad-dahr, mereka membacanya, “fainnallaha huwaddahr”. Dalam masalah ini, Ibnu Dawud telah menyelisihi Jumhur Ulama yang merafa’kan kata ad-dahr, wallaahu a’lam.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menukil dalam kitab Fathul Baari (X/575), perkataan Ibnul Jauzi sebagai berikut: “Bacaan yang paling tepat adalah dengan merafa’kan kata ad-dahr, hal itu dapat dilihat dari beberapa sisi:
Pertama, begitulah yang tercantum dalam riwayat-riwayat ahli hadits.
Kedua, kalaulah dibaca nashab, maka takdir kalimatnya menjadi, ‘Aku-lah yang membolak-balikkan masa.’ Tidak ada penyebutan alasan pelarangan memaki masa. Sebab, Allah sematalah yang mendatangkan kebaikan dan keburukan silih berganti. Berarti hadits itu bukanlah larangan memaki masa.
Ketiga, riwayat(lah) yang menyebutkan “fainnallaha huwaddahr” (artinya: Sesungguhnya Allah itulah (Pencipta)masa.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
Sumber: Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, diterjemahkan oleh Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), jilid I/87-91 buah karya Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali , Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah.
Catatan Kaki:
1. Kepercayaan masyarakat terhadap larangan bepergian atau melakukan suatu hajat pada hari selasa atau sabtu. Karena kedua hari ini dianggap oleh kelompok masyarakat tertentu dapat membawa kemalangan/kesialan apabila dilanggarnya pantangan tersebut.
2. HR Bukhari [4826,7491] dan Muslim [2246][3]
3. Shahih, HR Ahmad [2/496]
4. HR Muslim [2246]

Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif